Child Grooming dan problematikanya
Berbagai kasus kekerasan seksual terhadap anak kian hari kian berkembang. Child Grooming merupakan modus baru yang berkaitan dengan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak. Melansir dari National Society for the Prevention of Cruelty to Children, child grooming terjadi pada anak yang berada pada rentan usia beranjak remaja antara 14-17 tahun. Dapat diartikan child grooming ini adalah proses pelaku (groomer) untuk mempersiapkan korbannya. Proses seperti ini bisa dilakukan baik dengan fisik, emosional, atau finansial. Pelaku biasanya memiliki otoritas yang lebih tinggi, sehingga otoritas ini digunakan untuk mengontrol dan menguasai agar korban menurut padanya. Pelaku juga berupaya untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan ikatan emosional dengan korban untuk tujuan agar dapat memanipulasi korban dalam hal psikologis.
Ada banyak cara yang dilakukan pelaku untuk menarik perhatian korban, seperti menjalin hubungan baik dengan keluarga, lingkungan pertemanan korban, sehingga pelaku mendapat kemudahan untuk mengakses korban.
Child grooming juga bisa berupa pemanfaatan anak untuk melaksanakan perintah pelaku, bahkan bisa menjerat anak dalam lubang bisnis hitam seperti perdagangan anak, perdagangan organ tubuh, prostitusi anak, dan perdagangan seks di dunia maya.
Belakangan ini, ada beberapa kasus pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang usianya terpaut sangat jauh, bahkan salah satu dari mereka masih berstatus anak-anak dan remaja. Child grooming bisa menyentuh ranah ini, adanya pernikahan tersebut tidak jauh dari bujuk rayu yang dikemas dengan ikatan emosional agar sang anak mau menikah, padahal bisa saja sang anak tidak terbesit sama sekali niatan untuk menikah. Namun karena adanya proses child grooming tadi, dengan melakukan upaya pendekatan emosional dan adanya pola membangun kepercayaan, maka si anak menyetujui untuk melaksanakan pernikahan.
Pernikahan tersebut tentunya sudah melanggar hak-hak anak yakni hak hidupnya dan tidak bisa melanjutkan pendidikan atau eksplorasi diri yang lebih luas akibat adanya pernikahan itu. Jika anak tersebut adalah perempuan, dia rentan terhadap kehamilan yang tidak diinginkan, juga proses reproduksi yang belum siap bisa mengakibatkan resiko kematian, lahir prematur, dll. Belum lagi, seorang anak harus dituntut dalam mengambil sikap, padahal banyak kemungkinan dan resiko yang dihadapi terutama dalam hal kemapanan dalam menghidupi keluarga.