Slogan tersebut dijadikan sebagai salah satu bentuk protes atas bobroknya proses penegakan hukum di Indonesia.
2021 lalu, jagat media sosial diramaikan dengan berita pelecehan seksual yang dialami oleh salah satu karyawan KPI, korban mengatakan bahwa kasus nya tidak diproses dan ia banyak mendapat tekanan. Sehingga korban akhirnya speak-up dengan menuliskan sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Indonesia, Bapak Joko Widodo.
Yang tak kalah viral nya adalah kasus pemerkosaan 3 orang anak di Luwu Timur, yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri. Kasus ini bermula dari laporan seorang ibu yang ketiga anaknya menjadi korban atas perilaku bejat sang suami. Sang ibu meminta keadilan sebab kasus anaknya tidak di proses oleh kepolisian setempat. Pihak kepolisian mengatakan kasus dihentikan dengan dikeluarkannya SP3 karena tidak ditemui cukup bukti yang mengarah pada tindak pidana pencabulan.
2 kasus di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya kasus yang viral terlebih dahulu, baru diproses. Seolah tak ada hentinya, sampai saat ini banyak kasus bermunculan yang justru baru bisa mendapatkan keadilan lewat jalan viral. Mengapa demikian? Sebenarnya apa yang menjadikan masyarakat memilih media sosial sebagai tempat pengaduan?
Titik tumpunya terletak pada penegakan hukum. Aparat penegak hukum di Indonesia terbagi menjadi lima yakni kepolisian, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan advokat. Kelima aparat penegak hukum tersebut mengemban tugas dan amanah yang tinggi. Namun realitanya, masih banyak masyarakat yang tidak bisa mendapat hak akses hukum, sehingga menghambat masyarakat dalam memperoleh keadilan.
Tagar #percumalaporpolisi adalah salah satu bentuk kekecewaan masyarakat yang menganggap kalau lapor ke polisi hanyalah kesia-siaan. Ini bisa dijadikan tamparan keras terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Maka tidak heran sekarang ini banyak sekali kasus-kasus yang terungkap melalui media sosial.
Ruang digital dijadikan sebagai solusi alat penegak hukum, dengan harapan bahwa sebuah kasus akan lebih cepat diproses dan diselesaikan manakala mendapat banyak sorotan dan atensi publik. Alhasil akhir-akhir ini ruang digital di Indonesia banyak menyuguhkan kasus-kasus yang terhambat atau bahkan yang tidak tersentuh sama sekali.