Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Luka Sarita, Pilihan Berdamai dari Lingkaran Toxicn

2 Januari 2025   00:42 Diperbarui: 2 Januari 2025   02:38 40 0
Cerpen  |   Luka Sarita, Pilihan  Berdamai dari Lingkaran Toxic

DikToko
(Soetiyastoko)



Pagi itu, di sudut coffeeshop yang terkenal mahal, Sarita duduk menunduk dengan tangan gemetar. Cangkir kopinya hampir tak tersentuh, hanya mengeluarkan aroma pekat yang perlahan memudar.

Suasana masih sepi, hanya ada dua pengunjung lain yang sibuk dengan laptop masing-masing.

Dr. Maya, sahabat Sarita sekaligus psikolog klinis, duduk di seberangnya, menatap Sarita dengan pandangan penuh perhatian.


"Dia didiagnosis dengan Neuropsychotic Disorder,  NPD. Trauma masa kecilnya, ditambah kegagalannya mempertahankan jabatan penting, membuat dia merasa kehilangan kendali atas hidupnya. Rasa marah dan frustrasinya diarahkan pada orang-orang di sekitarnya." Itu kalimat Maya saat diminta pendapat tentang calon pimpinan yang akan direkrut owner group usaha.

Kalimat standar seorang profesional.


***


Kali ini yang dihadapan Maya adalah karibnya, Sarita ...


Sarita memandang ke arah jendela besar di dekatnya. Matanya basah, suara seraknya terdengar bergetar. "Maya, aku merasa seperti... pecundang. Apa aku memang sebodoh itu?"


Maya menghela napas, menyandarkan punggung ke kursinya. "Sarita, apa yang sebenarnya membuatmu merasa seperti ini? Ceritakan dengan jujur."


Air mata Sarita mulai mengalir. "Aku... aku tak habis pikir. Dia menyebutku munafik, dungu, bahkan mengatakan aku sesat.
Hanya karena pilihan politikku berbeda. Tapi bukan itu yang paling menyakitkan."


Maya mencondongkan tubuhnya, memberi ruang untuk Sarita melanjutkan.


"Yang membuatku merasa begitu hancur adalah... aku terpancing," suara Sarita hampir tak terdengar.


"Aku membalasnya dengan kata-kata kasar. Aku menyebut dia 'CEO goblok' yang dipecat karena merugikan perusahaan."


Maya terkejut, tapi mencoba menyembunyikannya. "Itu bukan kualitas  kamu, Sarita. Kamu tahu itu."


Sarita mengangguk, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya pecah. "Aku tahu, Maya. Aku tahu. Tapi aku tak bisa menahan diri. Aku merasa direndahkan, dipermalukan di depan teman-teman di grup WA itu. Aku ingin membalas... ingin membuat dia merasakan sakit yang sama."


Maya meraih tangan Sarita dengan lembut. "Itu reaksi manusiawi, Sarita. Tapi ingatlah, kita tidak bisa mengubah perilaku orang lain dengan membalas dendam. Itu hanya akan membuat kita terjebak dalam lingkaran toxic yang sama."


Sarita terisak, mencoba menenangkan dirinya. "Aku hanya ingin dia tahu bahwa dia salah. Tapi, pada akhirnya, aku malah merendahkan diriku sendiri. Menyebutnya 'CEO goblok, sudah tepat boss memecat-mu !' Itu ucapanku"


Maya tersenyum tipis. "Sarita, apa kamu tahu latar belakang temanmu itu?"


Sarita menggeleng pelan.


"Dia didiagnosis
 dengan Neuropsychotic Disorder. Trauma masa kecilnya, ditambah kegagalannya mempertahankan jabatan penting, membuat dia merasa kehilangan kendali atas hidupnya. Rasa marah dan frustrasinya diarahkan pada orang-orang di sekitarnya."  Paragraf' baku itu salah satu template diagnosa, milik Maya. Berulang kali sudah dikatakannya



Sarita tertegun. "Jadi, dia sebenarnya... menderita?"


Maya mengangguk. "Ya, dan sayangnya, dia tidak menyadari itu. Yang lebih buruk, ada orang-orang yang menjadi 'alas kaki'-nya, mendukung perilakunya, tanpa berpikir panjang. Itu memperburuk kondisinya dan membuat dia semakin sulit berubah."


Sarita memandang cangkir kopinya yang kini dingin. "Tapi Maya, apa aku harus pergi dari grup itu? Grup itu penting bagiku. Aku bisa memantau banyak hal, terutama gerakan politik proxy."


Maya menyandarkan tubuhnya. "Sarita, hidup adalah tentang pilihan. Jika grup itu membuatmu kehilangan kedamaian, kamu harus memutuskan apakah tujuanmu sebanding dengan harga yang kamu bayar."


Sarita terdiam. Maya melanjutkan, "Islam mengajarkan kita untuk berhati-hati dalam memilih lingkungan. Allah berfirman dalam Surat Al-Kahfi ayat 28 bahwa kita harus bersabar bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya dan menjauhi mereka yang hatinya lalai dari mengingat Allah."


Sarita mengangguk pelan. "Tapi Maya, aku kasihan padanya. Jika semua orang meninggalkan dia, bukankah itu akan semakin memperburuk kondisinya?"


Maya tersenyum lembut. "Kasihan itu mulia, Sarita. Tapi jangan lupa untuk berempati dengan bijak. Kamu bisa mendoakannya dari jauh. Jika dia tak pernah sadar akan perilakunya, usahamu mendekat justru akan menjadi racun untuk dirimu sendiri."


Sarita menatap Maya dengan tatapan bingung. "Maya, aku takut dianggap lari dari masalah. Aku ingin tetap kuat."


Maya menatap Sarita dengan penuh keyakinan. "Sarita, kekuatan sejati bukan berarti kamu harus terus bertahan dalam situasi yang merusak. Kadang, kekuatan justru ada dalam keberanian untuk pergi menghindar, demi menjaga dirimu."


Sarita menghela napas panjang, memandang keluar jendela di mana mentari pagi mulai mengintip malu-malu. Perlahan, ia mulai merasa ringan.


"Pernahkah kamu membaca renungan malam dari Ali bin Abi Thalib?" tanya Maya tiba-tiba.


Sarita mengangguk samar. "Aku pernah menuliskannya di Kompasiana."


"Renungan itu, Sarita, adalah pengingat yang kuat. Jangan terlalu banyak menjelaskan dirimu kepada orang lain.

Yang menyukaimu tak butuh penjelasan, dan yang membencimu tak akan percaya.

Fokuslah pada hal-hal baik. Balaslah keburukan dengan kebaikan. Dan yang paling penting, sibukkan dirimu dalam kebaikan hingga keburukan lelah mengejarmu."


Sarita terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu meresap. Kemudian, ia menghapus air matanya, merasa sedikit lebih kuat dari sebelumnya.

"Maya, aku rasa... aku tahu apa yang harus kulakukan."


Maya tersenyum. "Apa itu, Sarita?"


"Aku akan keluar dari grup itu. Bukan karena aku kalah, tapi karena aku memilih untuk menjaga kedamaian diriku."


Pagi itu, Sarita meninggalkan coffeeshop dengan langkah yang lebih ringan. Ia tahu, meninggalkan hal-hal yang toxic bukan berarti menyerah. Itu adalah bentuk keberanian untuk melindungi dirinya sendiri.



***



*Kesimpulan*


Toxicitas dalam hubungan sosial, baik secara langsung maupun melalui media seperti grup WhatsApp, dapat menjadi sumber stres yang serius. Menghadapi perilaku semacam ini memerlukan kebijaksanaan dan kekuatan mental.

Kesadaran tentang kesehatan jiwa belum muncul dan tumbuh di masyarakat kita. Hal ini bisa memicu terjadinya wabah psykis. Sesuatu yang kontra produktif, terhadap upaya menuju Indonesia Emas 2045.



Saran


Berikut beberapa  langkah mudah untuk mengatasi ketidaknyamanan dari orang yang toxic:



1. Jaga Jarak:
Ketika suatu hubungan mulai merugikan mental Anda, pertimbangkan untuk menjauh. Ini bukan bentuk kelemahan, melainkan cara melindungi diri.



2. Kendalikan Emosi: Jangan terpancing provokasi. Fokus pada tujuan utama Anda tanpa membalas dengan emosi.



3. Lingkungan Positif: Cari dukungan dari orang-orang yang membawa pengaruh baik dalam hidup Anda.



4. Empati Bijak:
Jika memungkinkan, bantu orang toxic dengan cara yang sesuai, tetapi prioritaskan kesehatan mental Anda sendiri.



Allah berfirman dalam Surat Al-Kahfi ayat 28:
"Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaan (yang seperti) itu melewati batas."


Rasulullah SAW juga bersabda:
"Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Maka, hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapa yang menjadi teman dekatnya".

5. Banyak Teman itu Dianjurkan:
Kenal dengan banyak orang itu baik, tetapi sebaik-baiknya pergaulan adalah intens bergaul dengan tan yang meningkatkan ketakwaan dan prilaku baik kita.

Dengan orang yang berprilaku buruk, cukup sekedar kenal saja. Tak baik dibersamai.

__________


Pagedangan, BSD,  Kab. Tangerang, Senin, 16/12/2024 11:06:24

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun