Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cerpen | Menyibak Realita di Balik Lensa Kamera TV

14 Desember 2024   07:51 Diperbarui: 14 Desember 2024   07:51 20 0
Cerpen  |  Menyibak Realita di Balik Lensa Kamera TV


DikToko
(Soetiyastoko)

Langit sore itu oranye cerah. Satrio duduk di sofa reyotnya, menonton siaran berita di TV tabung tua yang diselamatkan dari gudang kantor.

Wajahnya kaku saat pembawa berita mengabarkan duka: tiga jurnalis televisi meninggal di tempat setelah mobil mereka dihantam truk di pinggir jalan tol.


"Innalillahi...," gumam Satrio. Tapi rasa belasungkawa itu tak bertahan lama. Dia terpaku pada fakta mencengangkan yang muncul sesudahnya. Jenazah ketiga jurnalis itu dibawa ke tempat tinggal masing-masing. Bukan rumahnya, ternyata. Dua tinggal di kamar kontrakan kecil dan yang lain masih numpang di rumah mertua ---setelah belasan tahun bekerja sebagai jurnalis televisi.

Satrio menggeleng tak percaya. "Gila! Itu kerja keras bertahun-tahun cuma buat ngontrak? Apa bedanya gue sama mereka?" pikirnya.


***

Malam itu, Satrio mulai mengevaluasi hidupnya. Dia teringat bagaimana selama 12 tahun menjadi kameramen, gajinya nyaris stagnan di angka UMR.

Berkali-kali dia meminta kenaikan gaji, tapi selalu dijawab dengan senyum menohok manajer, "Kita semua susah, Sat."

Di kesempatan lain  boss HRD, menjawab, "TAKE IT OR LEAVE IT, masih ngantri yang ngelamar jadi kameramen !"


***

"Aaah ...." , lenguh Satrio mengingat semua pelecehaan itu. Begitu terhina saat terpaksa menerima jawaban itu, mestinya jadi boss HRD bahasanya bisa lebih baik.


Namun dia tahu alasannya lebih dari itu. Satrio pernah menolak mentah-mentah saat diminta memark-up biaya liputan. "Gak mau saya main curang, Pak," katanya dulu saat ditugasi menejer dan supervisornya. Setelah itu, kenaikan gaji hanya sebatas "penyesuaian inflasi."

Dia mulai membandingkan nasibnya dengan tetangganya, Pak Jiung, montir mobil panggilan yang setiap malam pulang mengendarai jip sangar, membawa uang segenggam dari ongkos kerja dikolong mobil. Kerja kotor, pendapatan menor ! "Montir tajir melintir, bergaji bankir" , seloroh Pak RT.

Pak Jiung, paling keren rumahnya di kampung itu.


Sementara Satrio, yang sering meliput demo buruh dan merasa dirinya lebih beruntung, kini sadar: buruh-buruh itu bahkan bisa protes soal gaji. Sedangkan dia? Hanya bisa menahan ngilu di pundak akibat kamera berat yang digendong sepanjang hari. Mereka pikir  gaji-ku berapa ?.


***

"Cuma Mimpi yang Bertahan"
Pikiran Satrio melayang ke masa lalu, saat pertama kali diterima bekerja di televisi.

"Kerja di stasiun TV Swasta itu keren, ditakuti lurah dan camat brengsek." katanya kepada kawan-kawan waktu itu. Tapi ternyata, keren tak membuat perut kenyang atau dompet tebal.

Kenyataannya, hanya para host yang hidup mewah. Mereka bekerja beberapa menit di depan kamera tapi bayarannya bisa puluhan juta. Sementara dia? Berpanas-panasan di lapangan seharian demi gambar bagus, tapi gajinya bahkan tak cukup untuk nyicil DP rumah paling kecil.

"Keren dari mana kalau akhirnya pensiun pun gak bisa beli kandang buat diri sendiri?" gumam Satrio, mencibir kebanggaan yang dulu dia pegang erat.


***

"Mencari Jalan Keluar"
Semakin malam, kepala Satrio semakin penuh. Dia sadar, tak ada yang akan berubah jika dia tetap begini. Dia butuh penghasilan setidaknya Rp12 juta sebulan.

Satrio mulai menghitung.

"Kalau mau Rp12 juta bersih, sehari harus dapat Rp600 ribu, dalam 20 hari kerja" ujarnya sambil menulis di buku catatan lusuhnya.

"Kalau untung jual barang cuma Rp10 ribu, harus jual 60 unit sehari. Tapi apa yang bisa laku sebanyak itu?" pikirnya.


Pikirannya melompat. Bagaimana kalau jual barang dengan margin lebih besar? Kalau untung per unit Rp100 ribu, cukup jual 6 unit sehari. "Motor bekas! Kalau satu motor untungnya Rp1 juta, cukup jual satu unit aja sehari!"

Tiba-tiba, ide itu terasa masuk akal. Dia tersenyum kecut, membayangkan dirinya menawarkan motor di marketplace. Ternyata, ide sederhana itu terasa lebih menjanjikan daripada bertahan menjadi kameramen televisi tanpa masa depan.


***

Kesimpulan di Balik Duka

Kematian rekan-rekan seprofesinya menjadi tamparan keras bagi Satrio.

"Jadi kameramen itu kayak kuda delman, Narik beban berat tapi cuma bisa buat makan alakadarnya. Bedanya, gue gak punya kandang."

Namun, malam itu juga, Satrio memutuskan untuk mulai berubah.

"Cukup sudah hidup kayak begini," tekadnya.

Dia sadar, bertahan dalam pekerjaan yang tak punya prospek sama saja dengan menyeret diri menuju kehancuran.


***

Kesimpulan & Saran

1. Kenali Potensi Penghasilan Profesi Anda.
Sebelum memilih pekerjaan, cari tahu potensi maksimal penghasilan di profesi tersebut. Jangan hanya fokus pada gaji awal, tapi juga prospek kenaikan gaji atau peluang bisnis sampingan.


2. Cari Profesi dengan Peluang Perkembangan Karier.
Pekerjaan yang stagnan cenderung memerangkap Anda di zona nyaman. Pilih profesi yang memberikan ruang untuk belajar dan berkembang, meski harus memulai dari bawah.


3. Jangan Abaikan Peluang Berwirausaha.
Pekerjaan tetap penting, tapi menyiapkan usaha sampingan bisa menjadi jalan keluar untuk meningkatkan pendapatan. Pilih produk atau jasa dengan margin keuntungan besar dan permintaan stabil.


4. Jangan Terjebak pada Kebanggaan Semu.
Pekerjaan bergengsi tidak selalu menghasilkan penghidupan layak. Fokuslah pada apa yang membuat Anda sejahtera secara finansial, bukan hanya terlihat keren di mata orang lain.



Satrio memulai langkahnya dengan keyakinan baru. Dia tahu, perjalanan tak akan mudah, tapi setidaknya kini dia paham: hidup bukan soal pekerjaan keren, tapi soal bagaimana bertahan dengan martabat.

_________

Pagedangan, BSD, Kab.Tangerang, Sabtu  14/12/2024 06:24:58

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun