DikToko
(Soetiyastoko)
Di ruang keluarga yang luas dengan jendela besar menghadap ke taman belakang, Kakek duduk di kursi goyang kayu jati favoritnya. Di hadapannya, lima cucu dari dua anaknya berkumpul. Atas undangan Teddy.
Mereka adalah Hasan, Malik, dan Fatimah, yang sudah lulus dari pesantren terkenal. Mereka  cucu dari anak kedua.
Sedangkan Teddy dan Renny, lulusan luar negeri yang lebih banyak berkecimpung di dunia modern dan hiburan. Ayahnya seorang politisi yang sering tampil di televisi. Renny yang juga artis, bahkan baru saja dilantik sebagai anggota dewan.
Wajah Renny masih dipoles riasan yang sempurna, belum terusak keringat. Sangat kontras dengan penampilan sederhana Fatimah. Berhijab hitam.
"Kakek, Renny sekarang sudah jadi wakil rakyat, lho," ucap Teddy, tersenyum lebar. "Masa nggak bangga?"
Kakek tersenyum tipis, lalu menatap cucu-cucunya satu persatu.
"Bangga itu boleh, tapi jangan sampai berlebihan. Jangan mudah terpesona atau terkagum-kagum dengan jabatan diri sendiri atau pencapaian duniawi."
Renny mengerutkan kening. "Tapi, Kek, kalau kita nggak pamer pencapaian, bagaimana orang bisa tahu apa yang sudah kita capai? Kan sebagai wakil rakyat, aku harus dikenal."
Hasan, yang lebih tenang, menimpali, "Tapi Kak Renny, Rasulullah SAW pernah bersabda, 'Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya seberat biji sawi.' (HR. Muslim)."
Fatimah, yang duduk di samping Hasan, menambahkan, "Sombong itu, Kak, bisa muncul dari kebanggaan diri yang berlebihan. Kita harus selalu ingat bahwa apa yang kita miliki sekarang hanyalah titipan Allah."
Renny menghela napas, merasa sedikit terpojok. "Tapi kan aku berusaha keras untuk sampai di titik ini. Apakah salah kalau aku merasa bangga?"
Kakek menunduk sejenak, kemudian berkata lembut, "Bangga boleh, Renny. Tapi ingat, bangga itu ada batasnya. Jangan sampai kebanggaanmu merendahkan orang lain."
Teddy tertawa pelan, menyela, "Kek, zaman sekarang orang-orang justru suka pamer biar makin dikenal. Lihat aja media sosial, semua orang berlomba-lomba pamer kekayaan, liburan mewah, pasangan romantis."
Kakek menatap Teddy tajam, "Itulah yang Kakek maksud. Pamer itu berbahaya. Kamu ingat cerita tentang penyakit 'ain? Penyakit yang muncul karena pandangan iri atau takjub seseorang?"
Teddy menatap Kakek dengan penasaran. "Apa hubungannya, Kek?"
"Ketika kita sering pamer," lanjut Kakek, "orang yang melihat bisa jadi merasa iri, dengki, atau bahkan merasa hidupnya kurang sempurna. Ini bisa membuat mereka tidak bersyukur atas apa yang mereka miliki."
Malik yang duduk tenang dari tadi, angkat bicara. "Kita nggak pernah tahu perasaan orang lain, Bang Teddy. Mungkin awalnya mereka cuma kagum, tapi lama-lama bisa timbul rasa iri. Itu yang membuat penyakit 'ain jadi berbahaya."
Fatimah mengangguk. "Benar, dan Rasulullah SAW juga melarang kita berlebihan dalam menunjukkan nikmat yang kita punya. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Falaq ayat 5, 'Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.' Itu peringatan agar kita tidak menimbulkan hasad pada orang lain."
Renny mengernyitkan dahi. "Hasad itu apa, sih?"
Malik menjawab dengan tenang, "Hasad itu iri hati. Perasaan tidak suka atau ingin menghilangkan nikmat yang dimiliki orang lain. Hasad adalah penyakit hati yang sangat dibenci dalam Islam."
Teddy menyandarkan diri di kursi, masih tampak tidak sepenuhnya yakin. "Tapi, Kek, apa salahnya kagum sama orang yang sukses atau punya hidup sempurna?"
Kakek tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. "Kagum boleh, Teddy. Tapi jangan sampai terlalu terpesona. Kalau kita terus membandingkan hidup kita dengan orang lain yang terlihat sempurna, kita bisa lupa bersyukur. Itu bisa menimbulkan rasa tidak puas dan akhirnya iri hati."
Fatimah menyela, "Sama seperti kita yang mungkin melihat orang lain punya kehidupan yang lebih baik di media sosial, padahal kita nggak tahu apa yang mereka alami di balik layar."
Renny mulai terlihat gelisah. "Jadi, maksud Kakek, kita harus menahan diri? Nggak boleh pamer, nggak boleh bangga?"
Hasan tersenyum tipis. "Boleh bangga, Kak, tapi dalam batas wajar. Jangan sampai kita merasa lebih baik dari orang lain hanya karena pencapaian duniawi."
Kakek menambahkan, "Dan yang lebih penting, jangan mudah menghakimi. Jangan mudah mencela atau menghina orang lain hanya karena kita merasa lebih baik."
Teddy menyeringai. "Tapi, Kek, kalau ada orang yang memang pantas dihina karena perilakunya, gimana?"
Kakek menggeleng. "Kita bukan hakim. Allah yang Maha Mengetahui isi hati setiap manusia. Siapa kita sampai berhak menghakimi orang lain?"
Renny menghela napas panjang. "Jadi, apa yang harus kita lakukan, Kek?"
Kakek menatap cucu-cucunya satu persatu.