Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cerpen | Semburat Memar Malam di Pulau Terpencil

19 September 2024   15:42 Diperbarui: 19 September 2024   15:42 79 0
Cerpen  |  Semburat Memar Malam di Pulau Terpencil

DikToko
(Soetiyasto
ko)

Kegaduhan mendadak meledak di tengah-tengah keramaian. Saat itu, calon pengantin pria baru saja hendak mengulurkan tangannya kepada penghulu.

Senyum dari tamu undangan tetiba pudar, berubah menjadi kepanikan yang menyelimuti ruangan. Tubuh pria muda itu tiba-tiba kejang-kejang, menggeliat dan terjungkal di depan banyak orang.
Matanya membelalak dan memutar, mulutnya berbusa, dan keringat deras mengalir di dahinya.

"Hentikan! Tolong dia! Ada yang tahu ini kenapa?!" teriak seseorang dari keluarga mempelai wanita.

Keluarga mempelai putri segera bereaksi. Salah satu dari mereka mengeluarkan ponsel dan menelpon rumah sakit terdekat dengan panik. "Cepat! Dokter! Kami butuh dokter sekarang juga!"

Dalam kekacauan itu, di sebuah rumah sakit sederhana yang hanya berjarak beberapa kilometer dari tempat berlangsungnya akad, Dokter Bimo, seorang dokter muda, sedang menikmati waktu liburnya. Hari itu dia tidak dijadwalkan untuk berjaga, tetapi panggilan darurat  mengharuskannya datang.

Dia langsung bergegas tanpa pikir panjang. Bersama seorang perawat senior, Pak Amir. Mereka menempuh perjalanan singkat ke tempat pernikahan, menggunakan sepeda motor trail. Satu-satunya kendaraan yang cukup tangguh menembus jalan-jalan terjal pulau kecil itu.

Ketika tiba, suasana sudah panas. Keluarga calon pengantin pria terlihat cemas dan marah. Seorang bibi dari pihak pengantin pria langsung menyambut kedatangan Dokter Bimo dengan wajah memerah,
"Kenapa lama sekali?! Sudah hampir setengah jam kami menunggu! Dia sekarat!"

Bimo mengangkat tangan, mencoba menenangkan mereka. "Maaf, saya sudah datang secepatnya."

Bimo segera mendekati calon pengantin pria yang masih tergolek di lantai. Tanda-tanda kejang epilepsi terlihat jelas. Dia memeriksa denyut nadi pria itu dan memastikan napasnya stabil.

Dengan tenang, dia berbisik kepada keluarga,
"Ini epilepsi. Sebentar lagi dia akan kembali normal."

Tapi ucapannya malah membuat suasana semakin tegang. Mendengar kata 'epilepsi', seorang paman dari pihak keluarga mempelai pria tiba-tiba naik pitam.

"Epilepsi? Kamu bilang anak ini punya penyakit ayan? Kamu menghina keluarga kami di depan orang banyak?!"

Bimo kaget,
"Bukan begitu, Pak. Epilepsi itu kondisi medis, tidak ada hubungannya dengan penghinaan. Pasien ini, ..."

"Diam!" teriak paman itu sambil mendorong Bimo dengan kasar.

"Kami dipermalukan di sini, dan kau bilang ini ayan?!"

Seolah disulut oleh kemarahan paman itu, beberapa anggota keluarga lain ikut menyerbu. Pukulan demi pukulan menghantam tubuh Bimo. Perawat Amir yang berusaha melerai pun terkena pukulan, tetapi jumlah mereka terlalu banyak.

Bimo yang tadinya berdiri tegak, kini terhuyung-huyung lalu jatuh tersungkur. Darah mulai mengalir dari sudut bibirnya, napasnya sesak. Ada yang tega menginjak !.

"Cukup! Ini keterlaluan!" teriak Amir, mencoba menahan serangan yang terus datang.

Bimo sudah tidak kuat. Tubuhnya terhempas ke tanah, kesadarannya mulai memudar.

Terakhir kali yang dia ingat adalah teriakan-teriakan penuh amarah dari keluarga mempelai pria yang menuntut balas atas rasa malu mereka.

Dalam kondisi setengah sadar, Bimo akhirnya oleh warga dimasukkan ke beberapa sarung yang melilit tubuhnya dan dipikul dengan sebatang bambu yang baru ditebang. Dengan cara itu, dipikul
ke rumah sakit.

Peralatan medis yang minim di rumah sakit kecil itu tak bisa memberikan banyak pertolongan.
Memar di tubuhnya terlalu banyak, dan berhari-hari kesadarannya tak kunjung kembali. Dokter Bimo kini terbaring di ICU, tak berdaya di rumah sakit tempat ia mengabdi.


-----

Dalam ketidaksadarannya, Dokter Bimo tenggelam dalam mimpi yang tak jelas namun penuh makna.

Dia mendapati dirinya berada di sebuah kota yang aneh, penuh dengan kilauan cahaya dan misteri. Itu adalah Kota Ajaib: Misteri Pedang Kristal. Di tangannya, ia memegang pedang bercahaya, seolah-olah pedang itu menyimpan rahasia tentang hidupnya.

Langkah kakinya kemudian membawanya ke sebuah jalan sempit, di mana hujan turun deras.
Di bawah hujan itu, ada seorang wanita yang tersenyum lembut kepadanya. Hatinya tersentuh oleh Cinta di Bawah Hujan: Perjalanan Hatiku. Namun, sebelum Bimo bisa mendekatinya, bayangan wanita itu memudar, menjadi Bayangan Malam: Rahasia di Balik Jendela. Bimo pun kembali sendirian.

Dia berjalan tanpa arah, sampai tiba-tiba dia berada di hadapan istana besar. Di depan istana itu berdiri seorang ratu yang anggun.

"Selamat datang di Ratu Kekaisaran: Kisah Sejarah Dinasti Ming," kata sang ratu dengan suara lembut namun berwibawa. Bimo merasa terpanggil untuk mencari jawaban di dalam istana itu, tetapi sebelum ia sempat memasuki pintunya, tubuhnya terseret oleh ombak besar.

Sekarang dia berada di sebuah pantai terpencil, di mana senja berwarna merah keemasan menghiasi langit. Semburat Senja: Ombak Rindu di Pantai Jauh membawanya pada keheningan yang dalam. Namun, dalam kedamaian itu, Bimo tahu bahwa perjalanan batinnya belum selesai.

Dia melangkah lebih jauh hingga menemukan sebuah pintu besar yang penuh dengan ukiran misterius. Labyrinth: Misteri di Balik Pintu Terlarang menantinya di sana. Bimo tahu bahwa pintu ini menyimpan rahasia tentang dirinya, tentang hidup dan maut, tapi apakah dia siap untuk membukanya?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun