DikToko
(Soetiyastoko)
Awan tebal baru saja tersibak matahari yang memanjat naik langit timur, ketika Nitta memanggil putranya, Mario, yang duduk termenung di ruang tengah.
Ia tahu, hari-hari belakangan ini Mario lebih sering diam, larut dalam kecewa.
Usaha yang ia bangun dengan harapan besar telah runtuh. Tidak ada senyum, tidak ada semangat yang terpancar di wajahnya. Semua tenggelam dalam bayang-bayang kegagalan. Dia tak kuat membayangkan nasib 57 karyawannya.
"Mau ikut Ibu jalan-jalan, Nak?" tanya Nitta lembut, menyadari Mario memerlukan ruang untuk berbicara.
Tanpa kata, Mario mengangguk dan berdiri perlahan. Mereka berdua masuk ke dalam mobil, dan dalam hening mereka melaju menuju Maal AEON BSD, tempat favorit Mario ketika masih kecil.
Di perjalanan, Mario akhirnya membuka suara, "Bu, aku tidak tahu harus mulai dari mana lagi. Semua sudah hancur. Usaha yang kurintis, semua tenaga dan waktu yang kuberikan, ternyata hanya membawa kegagalan."
Nitta tetap tenang mendengar keluhan putranya, seraya peIan menjalankan sedan hitam-nya.
Nitta sebagai ibu  sudah menduga ini akan terjadi.
Jauh, sebelumnya, suaminya, ayah Mario, telah memperingatkan bahwa strategi diskon tanpa batas, promosi perang harga, dan tidak memperhatikan pembukuan dengan seksama hanya akan membawa kerugian.
Tapi Mario keras kepala. Ia merasa bisa menaklukkan dunia bisnis dengan cara berbeda, meski semua pengalaman sang ayah menunjukkan , bahwa cara yang dipilih Mario sebaliknya.
"Dulu Ayahmu sudah bilang, Nak. Ayahmu itu *seperti pembalap* yang dibayar untuk menang dengan mobil milik orang lain.
Dia punya strategi, pengalaman, dan selalu mengutamakan perhitungan. Itu yang analogi-nya: membuatnya selalu berhasil berada di tiga besar di setiap perlombaan. Tapi, kamu memilih jalurmu sendiri."
Mario menggeleng pelan, wajahnya memerah menahan malu dan penyesalan.
"Aku terlalu yakin, Bu. Aku pikir bisa mengalahkan pasar dengan memberi harga murah terus-terusan, supaya pelanggan tetap datang. Tapi ternyata mereka malah berpikir kalau harga murah itulah harga sebenarnya. Saat aku coba naikkan, mereka pergi."
Mobil mereka sudah memasuki parkiran AEON lantai 4. Nitta menghentikan mobil dan menatap putranya dengan tatapan penuh kasih.
"Nak, Ibu ingin kamu mengerti satu hal. Kebahagiaan itu bukan berarti memiliki kehidupan yang sempurna. Tidak ada kehidupan yang sempurna. Apa yang kamu alami ini adalah bagian dari proses."
Mario terdiam, mendengarkan dengan seksama.
"Kamu harus menggunakan air matamu untuk menyirami toleransi. Maksud Ibu, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kegagalan ini adalah bagian dari pelajaran. Dan kehilangan bisnis yang kamu rasakan sekarang---hilangnya usaha, hilangnya kepercayaan diri---itu semua untuk menguji kesabaranmu, agar kamu lebih kuat nanti."
Mereka berdua berjalan menuju food court, tempat yang sepi siang itu. Alunan musik instrumental dari sebuah lagu Indonesia terdengar lembut, dimainkan dengan saxophone bersautan dengan biola yang mendayu.
Nitta menarik kursi, duduk berhadapan dengan Mario, dan menunggu makanan datang. Sate Padang Mak Syukur, makanan kesukaan Mario, akan segera tiba.
"Kegagalan, Nak," lanjut Nitta, harus kamu terima untuk mengukir ketenangan hati.
Penderitaan yang kamu alami ini, meski terasa berat, akan menjadi landasan untuk kenikmatan yang lebih besar di masa depan.
Kamu akan lebih menghargai setiap langkah keberhasilan kecil nantinya.
Dan kesulitan yang kamu hadapi? Itu akan membuka jendela kecerdasanmu, membuatmu lebih bijak dan teliti di kemudian hari."
Mario menunduk, merasa hatinya mulai tenang. "Tapi, Bu... kenapa rasanya sulit sekali bangkit?"
Nitta tersenyum lembut.
"Tidak ada yang mengatakan akan mudah, Nak.
Tapi ingat satu hal: jangan pernah menyerah. Hidupmu belum selesai. Jangan berhenti mengasihi orang-orang yang kamu cintai, Â pegawai-mu, karena mereka adalah alasanmu untuk terus berjuang.
Jangan menyerah untuk menjadi bahagia, karena kehidupan ini, meski penuh liku, adalah pertunjukan yang menakjubkan.
Dan kamu, Mario, adalah ciptaan-Nya yang luar biasa. Kamu memiliki potensi besar yang mungkin belum kamu sadari."
Mario memejamkan mata, merasakan berat beban di pundaknya sedikit demi sedikit berkurang. Kata-kata ibunya meresap dalam hatinya.
"Kamu tahu, Mario," lanjut Nitta sambil tersenyum kecil, tangannyaemegang pundak Mario.
"Kehidupan ini analogi-nya 'seperti balapan' yang dijalani Ayahmu.
Kadang kamu berada di posisi terakhir, kadang kamu di depan. Tapi yang terpenting, kamu tetap di lintasan, tetap bertanding."
Mario mengangguk perlahan. "Terima kasih, Bu. Mungkin memang sudah saatnya aku belajar dari kegagalan ini."
Makanan mereka datang, dan sejenak percakapan berubah menjadi ringan, berputar pada kenangan-kenangan kecil yang dulu sering mereka bicarakan.
Di tengah suasana foodcourt yang sepi, Nitta melihat Mario yang mulai sedikit tersenyum. Ada sinar harapan yang muncul di matanya, meskipun kecil.
--------
Kesimpulan :
Dalam cerita ini, Mario belajar bahwa kehidupan tidak selalu berjalan sesuai harapan.
Kesalahan dalam mengelola bisnis---khususnya dalam pembukuan dan strategi pemasaran---telah menghancurkan usahanya.
Beruntung, melalui nasehat ibunya, Mario mulai menyadari bahwa kegagalan adalah bagian dari proses pembelajaran.
Kebahagiaan tidak berarti kesempurnaan, tetapi bagaimana kita menggunakan kesulitan untuk tumbuh dan menjadi lebih bijaksana.
Kegagalan adalah bagian untuk bertumbuh. Kegagalan tak boleh membunuh rasa bahagia.
Jadikan sabar, ikhlas dasar bertekad terus berjuang , sebab jika berhenti berarti mati selagi terus bernafas.
Saran :
Bagi Mario dan siapa saja yang mengalami kegagalan serupa, adalah untuk tidak pernah berhenti berusaha dan belajar, dari setiap pengalaman.
Jangan menyerah pada rasa putus asa, karena hidup terus berjalan dan kesempatan selalu ada bagi mereka yang berani bangkit.
Selain itu, belajar dari pengalaman orang lain, seperti sang ayah dalam cerita ini, bisa menjadi pelajaran berharga untuk menghindari kesalahan serupa di masa depan.
-------------
Jln Caraka, Komplek Perumahan Kemlu, Pondok Aren  Tangerang Selatan