Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Cerpen | Melodi Sunyi Diantara Cahaya dan Bayang Jakarta

5 September 2024   22:22 Diperbarui: 5 September 2024   22:32 83 0
Cerpen  |  Melodi Sunyi Di Antara Cahaya dan Bayang-Bayang Jakarta

DikToko
(Soetiyastoko
)

Senja mulai merambat turun ketika aku duduk di dalam mobil inventaris-ku yang baru, ada rasa suka dan kecewa datang bersamaan.

Mobil inventaris yang baru ini jok kulit sapi dan kaca spion dalamnya masih terbungkus plastik. Spek-nya setingkat lebih tinggi dari mobil yang kemarin.

Hal yang mengecewakan-ku, perusahaan tak lagi menyediakan sopir khusus untukku. Aku  mulai hari ini harus nyetir sendiri.
Tak bisa lagi membolak-balik berkas kerjaan kantor atau menulis artikel di tablet, di jok kiri belakang.

Hasrat-ku untuk protes ke Dewan Komisaris atau Direktur utama, setelah kupikir berulang-kali, kutahan. Tak jadi kusampaikan, setelah ingat gaji-ku pun sudah dinaikkan signifikan.

Mestinya, aku bersyukur.

Biasanya aku tak peduli suasana perjalanan pulang, di mobil nyaris selalu ada aktivitas produktif-ku.
Tapi senja ini selain memandang mobil-mobil di depanku, kulihat kerlip lampu-lampu gedung di Jalan Sudirman.

Gedung-gedung tinggi seperti raksasa sombong, penjaga perkotaan.
Kaca-kacanya memantulkan kilauan cahaya yang berbaur dengan langit senja yang memerah.

Mesin mobilku mulai berbisik pelan, suara jazz dari Ermy Kulit mengalun lembut mengisi kabin. Lagu-lagu jazzy ini seakan meredakan kebisingan Jakarta sore itu, meski lalu lintas tampak padat dan mobil-mobil antri keluar gedung parkir.

Aku mengikuti arus, perlahan meninggalkan gedung dan bergabung dengan mobil-mobil lain yang merayap di jalan raya. Lampu-lampu jalan mulai menyala, memberikan pendar kekuningan yang membuat suasana terasa melankolis.

Rasa suka dan kecewa  yang menggelayuti
pikiran, mengajakku mulai berkelana, menyusuri setiap ingatan dan pengamatan yang terkumpul dalam hari-hariku.

"Aku melihat hidup orang lain begitu nikmat," gumamku dalam hati. Rasanya mereka memiliki hidup yang sempurna. Tidak pernah tampak ada kekurangan.

Teman-ku di kantor, dan rekan-rekan tim pendukungku yang selalu tampak sukses dan ceria, seolah tidak pernah terjatuh.
Tapi, aku tahu betul, bahwa mereka pun menyimpan duka di dalam hati, yang tak pernah terungkap di permukaan.

Mobil perlahan melintasi jembatan Semanggi, menuju Jalan Gatot Subroto ke arah Tomang.
Aku menatap sekeliling, gedung-gedung tinggi berdiri kokoh di sepanjang jalan. Alunan jazz kini berganti dengan denting lembut bossanova Rien Jamain, mengiringi arus pikiranku yang terus berkelana.

"Aku melihat hidup teman-temanku tak ada duka dan kepedihan," kembali aku bergumam. Namun, semakin aku mengenal mereka, semakin aku sadar bahwa kebahagiaan mereka datang dari rasa syukur. Bukan karena hidup mereka sempurna, tapi karena mereka pandai mensyukuri apa pun yang ada.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun