Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Obrolan: Membangun Indonesia dengan Optimistis

12 Agustus 2024   23:39 Diperbarui: 12 Agustus 2024   23:41 48 0


Obrolan Malam di Warung RoPang: Membangun Indonesia dengan Optimisme

Soetiyastoko

Jelang tengah malam, suasana di warung roti panggang Bang Hadi terasa hangat meski udara malam kian dingin. Angin berhembus pelan, sesekali membawa aroma khas dari panggangan roti yang sedang dibalik di atas bara.

Para pelanggan setia bergantian datang dan pergi. Seolah berbagi waktu menemani Bang Hadi yang warungnya buka sampai jam 7 pagi.

Mereka menyelimuti diri dengan jaket untuk mengusir dingin  kota kembang yang meresap hingga ke tulang.

Di pojok warung, empat sahabat---Ahmad, Yacob, Bidin, dan Somad---telah duduk dengan nyaman. Mereka adalah wajah-wajah yang hampir setiap malam Minggu menghiasi warung sederhana itu.

Obrolan ringan mengisi malam, ditemani gelas kopi atau secangkir bandrek dan sepotong roti panggang keju yang renyah. Pilihan lainnya nangka goreng atau nanas goreng.

Lampu minyak yang tergantung di dinding warung sesekali meredup, tertiup angin malam yang masuk dari celah-celah pintu kayu. Saat angin menerpa lagi, api di dalam lampu tiba-tiba menyala besar, menerangi seisi warung dengan cahaya yang lebih terang.

Di luar, terdengar suara lolongan anjing yang menggema dari kejauhan, seolah menyambut datangnya malam yang semakin larut. Seekor kucing liar tiba-tiba melintas di depan warung, mengeong nyaring sebelum menghilang di kegelapan. Entah sedang berburu tikus atau calon pasangan untuk kawin.

Terdengar dari bibir Ahmad , "Kawan-kawan, tadi siang saat gotong royong mendirikan gapura, kami membicarakan kondisi masyarakat kita saat ini.
Ada nuansa keprihatinan, ... Menjelang HUT RI ke-79 ini, aku merasa perlu untuk berbagi pandangan tentang masa depan bangsa kita."

Ahmad pembina Pramuka, seorang duda pensiunan kepala sekolah, biasanya menjadi pembicara utama dalam obrolan mereka. Suaranya yang dalam dan tenang selalu berhasil menarik perhatian ketiga sahabatnya.

Yacob mantan anak kapal laut, menyahut, "Ah, Ahmad. Kamu selalu punya sesuatu yang berisi untuk dibicarakan. Apa yang kamu pikirkan kali ini?"

Kursi kayu yang diduduki Yacob berdecit pelan saat ia menggesernya mendekat ke meja. Seperti suara kursi yang menceritakan kisahnya sendiri, demikian pula setiap kata dari Ahmad yang penuh dengan pengalaman hidup.

Mata Bidin pensiunan Geologi dan Somad wiraswasta bengkel elektronik,  tertuju ke mata Ahmad,  "Begini, Yacob. Kita semua tahu, Indonesia akan merayakan 100 tahun kemerdekaannya pada 2045, dan kita menyebutnya Indonesia Emas. Tapi, apakah kita benar-benar siap untuk itu?"

Sesaat, keheningan menyelimuti mereka. Angin malam yang dingin kembali menerpa, membuat Bidiin merapatkan jaketnya. Di luar warung, sorot lampu sebuah mobil yang melintas sebentar menerangi jalanan sepi, memberikan kontras yang tajam antara terang dan gelap.

Bidin pun menimpali , "Hmm, Indonesia Emas 2045... Itu masih 21 tahun lagi. Apa kita masih bisa melihatnya?"

Bidin memandang ke arah lampu minyak yang kembali meredup, kali ini lebih lama. Seperti refleksi dari pemikiran mereka yang mulai terarah ke masa depan yang belum pasti.

Somad tanpa nada pesimis berkata , "Ya, usia kita sudah tidak muda lagi, Ahmad. Tapi aku setuju, kita harus memikirkan generasi berikutnya. Menyiapkannya !"

Di kejauhan, suara burung hantu terdengar samar, bersahutan dengan ketukan tiang listrik oleh peronda malam, yang tengah berkeliling.

Suasana malam itu penuh dengan isyarat, seolah semesta ikut mendengarkan perbincangan mereka.

Ahmad makin bersemangat, "Justru itu, Somad. Meskipun kita mungkin tidak akan melihat tahun 2045, kita punya tanggung jawab untuk mempersiapkan masa depan anak-anak muda. Membantu mempersenjatai mereka dengan hal-hal positif.

Salah satunya adalah dengan menyemaikan kebiasaan positif dan meninggalkan yang negatif, seperti hoaks dan berita palsu yang merusak persatuan."

Bang Hadi, yang baru saja menyajikan roti panggang  dan nanas goreng pesanan mereka, ikut menimpali. "Benar sekali, Pak Ahmad. Hoaks itu seperti racun yang perlahan-lahan membunuh kebersamaan kita."

Yacob, menyambut : "Aku setuju, Bang Hadi. Terlalu banyak informasi yang tidak jelas kebenarannya, menyebar fitnah di masyarakat kita. Dan sayangnya, banyak yang langsung percaya tanpa memverifikasi."

Di luar, seekor anjing menggonggong panjang, menambah kontras keheningan malam. Bang Hadi mengedarkan pandangan ke luar jendela, memastikan keadaan sekitar baik-baik saja, sebelum kembali melayani pelanggan yang lain.

Bidin, penasaran :"Tapi bagaimana caranya, Ahmad? Bagaimana kita bisa membuat orang-orang lebih selektif dan berpikir positif?"

Ahmad menarik napas dalam sebelum menjawab. Suara napasnya seolah menyatu dengan desiran angin yang semakin menguat, membuat lampu minyak di warung itu bergoyang ringan.

Ahmad, berusaha bijak: "Semuanya berawal dari diri kita sendiri. Allah SWT sudah mengajarkan kita, untuk selalu berprasangka baik. Ketika kita selalu berpikir positif, maka kita akan cenderung menarik hal-hal baik ke dalam hidup kita."

Somad menahan dagunya yang menggigil : "Jadi maksudmu, kita harus menjadi teladan dalam berpikir positif?"

Ahmad, tanggap: "Tepat sekali, Somad. Kita harus mulai dari diri sendiri. Jika kita bisa menunjukkan bahwa berpikir positif membawa dampak baik, orang lain akan melihat dan mungkin terinspirasi untuk melakukan hal yang sama...."

Yacob menyela: "Tapi, berpikir positif saja tidak cukup, Ahmad. Kita juga harus aktif dalam menyebarkan informasi yang benar dan mengedukasi masyarakat. Secara terukur dan direncanakan".

Suara tangkai pohon ditiup bayu hingga mengusap atap seng Bang Hadi terdengar "Kresek-kresek kreett ..." keras di sudut warung. Seolah menjadi saksi dari obrolan yang penuh makna ini. Ahmad menatap ketiga sahabatnya dengan serius.

Dia pun berkata: "Benar, Yacob. Namun ingat, segala sesuatu harus dimulai dari diri sendiri. Jika kita bisa menjaga pikiran dan tindakan kita positif, itu akan menular ke orang-orang di sekitar kita."

*00:30, Warung Roti Panggang*

Obrolan pun perlahan mereda. Makanan dinikmati sedikit-sedikit, dicecap rasanya. Tak langsung ditelan.
Obrolan itu telah memicu hati dengan semangat dan kepala yang dipenuhi rencana-rencana kecil namun berarti.
Ahmad, Yacob, Bidin, dan Somad bersiap untuk pulang.

Malam itu, mereka merasa ada yang berbeda---ada rasa kebersamaan yang lebih erat, dan ada optimisme yang mengalir di antara mereka.

Bang Hadi, yang melihat mereka mulai bersiap-siap meninggalkan warungnya, kembali menghampiri meja. "Terima kasih sudah menghabiskan waktu di sini malam ini, bapak-bapak. Saya senang melihat bagaimana kalian selalu punya topik yang bermanfaat untuk dibicarakan. Semoga apa yang kita obrolkan bisa benar-benar menjadi kenyataan."

"Terima kasih, Pak Hadi. Warung ini sudah menjadi tempat yang istimewa bagi kami, bukan hanya sekadar tempat nongkrong, tapi juga tempat untuk saling belajar dan berbagi." , jawab Ahmad.

Yacob pun menanggapi: "Benar, Pak Hadi. Saya merasa lebih bersemangat setiap kali pulang dari sini. Semoga kita semua bisa terus menjaga semangat ini dan membawa perubahan yang positif."

Somad  tak mau ketinggalan: "Saya setuju. Warung ini adalah rumah kedua kita. Kita tidak hanya datang untuk mengisi perut, tapi juga untuk mengisi jiwa."

Bidin: "Dan siapa tahu, dari obrolan-obrolan kita ini, akan ada tindakan nyata yang bisa membawa perubahan. Saya yakin, jika kita terus bergerak bersama, pasti akan ada hasilnya."

Bang Hadi tersenyum lebar mendengar kata-kata mereka. "Saya juga yakin begitu. Kalian adalah pelanggan yang luar biasa. Dan saya akan terus mendukung apa pun yang bisa saya lakukan."

Ahmad berharap: "Semoga Allah memberkahi niat baik kita semua. Dan ingat, kita tidak perlu menunggu momen besar untuk mulai bertindak. Mulailah dari hal-hal kecil, dari diri kita sendiri, dari keluarga kita, dan dari lingkungan kita."

Yacob menambahkan : "Dan mari kita tetap berpikiran positif, seperti yang sudah kita bicarakan tadi. Pikiran positif akan membawa energi positif, dan itu yang kita butuhkan untuk terus maju."

"Ya, berpikiran positif, berprasangka baik, dan melakukan yang terbaik. Itu kuncinya." , sambung Somad

Bidin: "Setuju, Somad. Kalau kita semua bisa melakukan itu, saya yakin Indonesia bisa mencapai masa keemasan yang kita impikan."

Ahmad menatap ketiga sahabatnya dan Bang Hadi dengan tatapan penuh makna. "Baiklah, mari kita teruskan perjuangan ini. Mungkin kita tidak akan melihat hasilnya secara langsung, tapi yakinlah bahwa apa yang kita lakukan akan membawa kebaikan untuk generasi mendatang."

Dengan ucapan itu, mereka semua saling bersalaman dan berpamitan. Malam itu, mereka pulang dengan hati yang ringan dan kepala yang penuh dengan rencana untuk masa depan. Mereka tahu bahwa perjalanan menuju Indonesia Emas 2045, bukanlah jalan yang mudah, tetapi mereka percaya bahwa dengan persatuan, optimisme, dan tindakan nyata, mereka bisa memberikan kontribusi yang berarti.

Saat mereka berjalan menjauh dari warung, Bang Hadi berdiri di depan pintu, memperhatikan mereka dengan senyum bangga.

Dia tahu bahwa warung kecilnya telah menjadi tempat lahirnya gagasan-gagasan besar yang, siapa tahu, suatu hari nanti akan membawa perubahan bagi bangsa ini.

Di bawah langit malam yang penuh bintang, ada tanda tanya besar yang harus dijawab dengan tindakan. Bukan wacana yang gagal menggapai cakrawala.

*Tamat*

-------------------------

Bumi Puspita Asri, Pagedangan  BSD  Kab.Tangerang  Senin  12/08/2024 22:18:45

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun