Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Ruang C Dipati Ukur 35

2 Oktober 2023   15:05 Diperbarui: 2 Oktober 2023   22:42 223 4
Cerpen  |  Ruang C Dipati Ukur 35

Soetiyastoko

Bergegas bangun lebih pagi, antri ke kamar mandi. Deretan empat rumah petak kontrakan itu hanya dilengkapi dengan satu kamar mandi, sekaligus kakus. Itu pun masih berbagi dengan pemilik rumah.

Seperti biasa sebelum mandi harus menimba air, memenuhi bak.
Tali timba itu panjang, sesuai dengan sumurnya yang dalam. Di kedua ujung tali itu terikat ember dari seng. Ini ide Dot Samino, kawanku dari Toboali-Pulau Bangka.

Bak itu terhubung dengan pipa besi yang ujungnya ada di dalam bilik mandi.
Jika mandi, sumpal kayu berbalut kain di ujung pipa itu dicabut. Maka air pun ngucur dingin kebadan. Di bilik itu ada ember ukuran sedang, untuk menampung air penggelontor "bom atom".

(Ngapain sih, yang gitu-gitu dicerita'in ?! Apa gak ada ide yang lebih enak dibaca ?!
Sengaja kutulis, sebab kaum mapan bin borju tak banyak yang tahu getir-nya kehidupan)


Yaa aku membasahi diri dari air dibak mandi yang mengalir lewat pancuran itu. Begitu pun kawan-kawan yang lain. Biasa seperti itu.
Mirip dikampungku, bedanya di sana pancurannya dari mata air pinggir tebing batu. Tak pernah disumbat atau disumpal. Sepanjang hari, sepanjang tahun terus mengalir dan gratis. Tak perlu buang tenaga, menimba.

Tapi hari itu beda, sudah hampir penuh bak itu kuisi. Telapak tangan pun sudah memerah, berkat menarik tali timba
Ee ! Tiba-tiba sumbat bak mandi itu terlepas sendiri. Padahal aku sedang menarik timbaan terakhir yang mestinya dilanjutkan mandi.

Ember seng yang dipenuhi air timbaan terakhir itu cepat-cepat kuletakan dilantai sisi sumur. Lalu aku lari masuk kebilik mandi, berusaha menutup pipa pancuran. Tak mudah terburu-buru menyumbat pipa yang sedang mancur.Kulihat bak air, isinya tinggal 3 jari dari dasarnya. Yaa yaa, artinya aku harus nimba lagi

Tali timba yang terbuat dari irisan karet ban truk itu kutarik lagi. Kucoba untuk sabar. Lengan tanganku bergetar. Nafas balapan dengan cucuran keringat.
Mudah-mudahan dosenku datangnya terlambat, agar tetap bisa kuliah.

Nenek pemilik kontrakan membuka pintu belakang dapurnya yang langsung terhubung dengan area sumur dan kamar mandi,

"Maaf, Cep Joko, Ibu sedang kebelet. Ibu dulu yaa yang ke kamar mandi, ... !"

Belum sempat kujawab, dia sudah masuk bilik mandi dan mulai "ngebom!". Kamu bisa bayangkan, gas buang itu terhirup hidungku. Wouw ! Anggap saja rejeki pagi.

Tali timba bekas ban tronton itu masih kutarik tapi airnya tak kumasukan bak. Kugunakan untuk sikat gigi lalu cuci muka dan pergi.

Terdengar si Ibu teriak-teriak minta diisikan bak mandi. Dia mungkin mau membersihkan diri dan menggelontorkan "bom pagi" nya.

Aku tak bisa menolongnya, aku tak mau terlambat kuliah. Tanpa berganti pakaian yang semalam kupakai tidur, langsung jalan setengah berlari.
Bau, dong bajunya ?! Tidak, Tante dan Oom. Ini di Bandung utara, terlalu dingin untuk tidur berkeringat.

-oo0oo-

Ruang C kampus Dipati Ukur 35 sudah penuh sesak mahasiswa dengan wajah-wajah fresh lulusan SMA. Perempuan hampir semua bersolek cantik, dan yang gundul-gundul pasti laki-laki. Termasuk aku.

Ada muka-muka lama yang berambut gondrong, mereka mengulang kuliah. Mungkin memang tidak lulus  saat ujian atau modus mendekati bidadari-bidari segar.

Susunan bangku Ruang Kelas C, sama dengan bioskop. Lantainya tinggi di bagian belakang. Bedanya bangkunya panjang-panjang, lebih panjang dari bangku warung roti bakar di gang samping gedung RRI Bandung. Tempat para aktivis nongkrong mengkritisi apa saja.

Aku lebih suka duduk di deretan ketiga  atau keempat. Sebab jika duduk dideret pertama, kepala harus selalu "ndangak" saat memperhatikan pak dosen mengajar. Wira-wiri jalan di atas panggung semen. Yaa, di bagian depan kelas ruang C mirip panggung, ada mimbar jati kokoh. Mirip yang biasa ada di masjid.

Hari itu, aku terpaksa duduk di bangku terdepan. Yaa yaa, kini kualami sendiri hujan lokal dari mulut Pak Dosen yang gondrong mirip pemain band Rhapsodia. Tapi beliau berkumis dan berjenggot panjang tapi jarang. Tipis, kata Hadi, kawanku yang hidungnya paling mancung dikelasku.

Pak dosen piawai menyampaikan teori-teori  mata kuliah pengantar ilmu politik. Aku suka !
Sri, bilang, "Apa hebatnya, biasa kale ! Tiap semester ngajarnya pasti itu-itu saja. Tak beda dengan kaset rekaman yang diputar ulang. Lo, juga bisa !"

Sri, si hitam cantik, kawan kuliah ini orangnya terkesan bijak. Dia mahasiswi lama tak lulus-lulus ujian mata kuliah ini. Konon gara-gara menolak diajak pak dosen nonton bioskop, film Kasino-Indro. Entah kenapa hari itu komentarnya sengak. Atau memang selalu begitu gayanya ?

Terus terang, jika Sri se-umuran-ku pasti dia kudekati. Dia tidak hanya enak diajak berbincang, dia amat cerdas - pengetahuannya luas dan daya ingat-nya seperti kaset. Oh yaa, suaranya pun merdu seperti Rien Jamain penyanyi bersuara jazzy.

-oo0oo-

Pak dosen dengan lantang menyarankan untuk tidak mencatat. "Simak saja, agar paham. Bila merasa perlu silahkan baca buku tulisan saya diperpustakaan. Kalau gak kebagian pinjam, silahkan beli di toko buku yang di jalan merdeka. Jika ingin yang murah, beli saja yang bekas di pasar loak Sumur Bandung". Itu kalimat yang selalu dosenku ucapkan. Katanya, tak bermaksud promosi. Dosen dilarang jualan buku ke anak didiknya.

Pengantar ilmu politik, mata kuliah dasar, tergolong kuliah masal. Pesertanya gabungan dari lima jurusan, maka dilaksanakan di sini, Ruang C. Katanya muat untuk 400 mahasiwa. Aku percaya, walau belum pernah menghitungnya.

Kuliah masih berlangsung, artinya aku harus terus berjaga-jaga, jangan sampai "kena hujan"  dari rongga yang di-apit jenggot dan kumis tipis yang dibiarkan panjang-liar. Semrawut. Tampak khas jadinya.

Beberapa kali kupegang tengkukku, seperti ada yang menggelitik. Kutoleh deretan dibelakangku, tapi tak ada wajah iseng yang mencurigakan.

Tapi gelitik itu terasa lagi, kulihat lagi wajah-wajah dibelakangku. Kali ini deret demi deret kuperhatikan. Mata-ku berhenti pada mata agak sipit wajahnya bersih putih, rambutnya lurus. Dia menatap mata-ku ! Tiba-tiba dadaku berdesir. Wouw, wajahnya jadi bersemburat-merah. Mungkin aku pun begitu.

Aku cepat-cepat kembali menghadap kedepan kelas. Pak dosen menuliskan bagan di papan tulis lebar ber-cat hijau. Dengan bagan itu dijelaskannya siklus gaya pemerintahan.

Dimulai dari barbarian-keos, lalu diktator, mengendor dan berubah jadi demokrasi yang menuntut kebebasan. Dilanjutkan dengan demokrasi yang kebablasan berujung keos lagi. Hingga menyeruak lagi kehidupan sosial yang barbarian. Saling terkam saling memangsa. Homo homini lopus istilah keren-nya.

Aah ! Entah apalagi yang diterangkan pak dosen dengan gaya kocak-nya.

Tengkuk-ku terasa lagi, ada yang menjawil-jawil. "Geli-geli gimana, gitu ?!"

Lagi, .... Yaa, langsung wajahku kuhadapkan kebelakang. Entah siapa yang menuntun ke arah wajah dan mata itu lagi. Mata gadis cantik itu lurus ke mata-ku. Jelas ini semacam telepati.

Aku mengerti maksud kata telepati dari kawanku. Dia bilang sebuah perasaan yang amat dalam terhadap seseorang, bisa terkirimkan dan dirasa oleh orang yang dituju.

Waah ! Apakah ini berarti gadis cantik yang biasa tak bergincu atau pun bedak itu, punya rasa mendalam kepadaku ?

Masalahnya, "rasa mendalam-nya" itu suka atau benci ?! Aku tak berani menerka-terka.

Nyatanya kali ini tanpa rasa terjawil ditengkuk-ku, kutengok wajahnya. Dia sedang menunduk, mungkin sedang menulis sesuatu. Kupandangi terus, lalu akhirnya dia langsung melihat kearahku. Langsung menatapku, tanpa senyum. Inikah saling bertelepati itu ? Pembaca, menurut kalian apa yang menggerakan peristiwa ini. Infra red-kah atau bluethoot-kah ?

Saling pandang itu entah berapa kali dan berapa lama. Lisa yang duduk tepat dibelakangku tiba-tiba mengikuti arah mataku, "Joko, lo ngliatin siapa ?!" Lisa pun bisik-bisik menyambung, "Lo, lihat-lihatan sama .... " Dia sebut namanya. Lalu , "Joko, Lo naksir dia yaa ? Iyaa, 'kan, .... Entar gue kasih alamatnya, ..."

Enaknya duduk dideretan paling depan di Ruang C, wajahku tak terperhatikan dosen. Sebab posisi kepala mahasiswa, sejajar dengkul dosen. Aku tak peduli, apalagi yang diucapkan Lisa untukku.

Kutatap lagi mata tajam agak sipit itu, dia pun membalas pandang. Seperti tadi, tanpa senyumnya atau senyumku. Disaksikan jantung yang berdegub kencang !

Ini gara-gara kuliah, belum mandi.

-------

Pagedangan, BSD, senyap dan dingin, beda dari biasanya, 06/08/2023 22:27:52

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun