Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Unit Pers, Fotografi & Modeling

10 Januari 2022   22:07 Diperbarui: 10 Januari 2022   22:26 278 1
"Wad ?"
- Novel -

Soetiyastoko

Bagian 14

Unit Pers, Fotografi & Modeling

Selama ini bertanya-tanya tentang, kira-kira apa saja yang dilakukan di Unit Pers, Fotografi & Modeling. Acara gathering kemarin telah memberikan jawaban menyeluruh.

Wadiarini Anya dan kawan-kawan lainnya, kini "ngeh" . Jadi paham, mengapa 3 jenis aktivitas itu digabungkan.

Pers atau media, pada dasarnya melibatkan banyak kegiatan. Tidak cuma urusan tulis-menulis bulletin, radio kampus saja, tetapi juga fotografi dan movie.

Termasuk penyajian narasi lisan dalam gambar, tentu dilengkapi dengan ketrampilan "menyajikan diri" sebagai bagian dari konten.

Di situ letaknya  aktivitas modeling, tidak sekedar bergaya untuk foto statis, tetapi juga seni peran. Movie.

"Kami sangat terbuka untuk bekerja sama dengan semua unit kegiatan yang lain, ..." jelas Arifin Bagong, juru bicara unit kegiatan itu.

"Termasuk penyelenggaraan acara, event organizer. Run down event. Penulisan skrip movie, konten hingga mewujudkannya sebagai video atau pun buku profil, atau sekedar flyer atau brosur..." sambungnya pula.

Unit yang paling banyak seksinya ini, ternyata secara periodik mendatangkan pembicara-pembicara dari berbagai keahlian. Terutama yang terkait aktivitas utama.

Arifin Bagong, meneruskan bicaranya. Matanya ke arah orang-orang yang duduk disebelah Wadiarini Anya, seperti minta persetujuan.

Ternyata, memintanya maju kedepan. Dia pun maju, meraih mikropon. Mengucap salam dan, ...

"Saya Marsudi Jaya, kebetulan yang diminta kawan-kawan menggawangi unit kami, ... termasuk yang ditunjuk jadi ketua diselenggarakan acara ini. Alhamdulilah sampai detik ini berjalan seperti rencana.

Terima kasih pada semua rekan sealmater, terima kasih pada seluruh panitia. Tepuk tangan dulu dong  untuk rekan kita Wadiarini Anya, ...!"

Bergemuruh sorak sorai dan beberapa suitan.

"Walaupun Wadiarini Anya, mahasiswi paling berprestasi ini, tidak terdaftar sebagai panitia, tetapi beliau-lah yang melobby hampir semua unit kegiatan. Hingga kita bisa berkumpul hari ini. Sekali lagi tepuk tangan yang meriah ...!"

Wadiarini Anya berdiri, kedua telapak tangannya ditangkupkan dan membungkuk. Memberi hormat.

"Saya tadi, sempat ngobrol dengan rekan kita yang cantik ini ...."

Sontak, mendengar kalimat itu mereka yang duduk itu teriak-teriak, gemuruh.

"Hei, jangan merayu yaa !"
"Jangan cari kesempatan dalam kesempitan, woi !"
"Punya gua, jangan ditikung, hei !"

Macam-macam kalimat teriakan itu dan bercampur tawa. Tapi itulah yang paling terdengar oleh Wadiarini Anya, mungkin saat itu wajahnya memerah.

Marsudi Jaya, menghentikan kalimatnya sejenak, seraya membungkuk ke arah Wadiarini Anya. Lalu melanjutkan, ...

"... apa ada yang salah ucapan saya ? Bukankah nona kita ini memang memikat yang memandang, ..." , suara nge-bas itu, kali ini mendapat teriakan semakin kencang ditambah suitan.

"... ibu kita ini, mengusulkan untuk membuat program kegiatan bersama. Lintas unit kegiatan, yang dilakukan periodik 4 bulan sekali atau 6 bulan sekali, ...."

Mereka kali ini menyimak dengan baik. Serius.

"Dalam waktu dekat, kami tawarkan sebuah forum diskusi, menghadirkan beberapa tokoh nasional. Mereka akan kita minta, bicara dengan tema, ...."

Marsudi Jaya diam sejenak, matanya beredar keseluruh audience. Suara khas penyiar RRI kembali terdengar, ...

"Bagaimana langkah dan cara-cara yang bisa ditempuh, untuk mengkonversi kegiatan setiap unit menjadi sumber pendapatan, .... minimal untuk menambah kas unit, ..."

Kalimat itu disambut dengan teriakan setuju.

Marsudi Jaya, sudah kembali duduk di samping yang tadi disebutnya cantik.

Perasaan Wadiarini Anya, tak menentu. Antara suka, tersanjung, bangga dan malu atas kalimat-kalimat pujian itu.

Selama ini dia belum pernah dipuji tentang fisik di depan orang banyak seperti itu. Kalau tentang prestasi, sudah biasa baginya.

Wadiarini Anya jadi kikuk, ketika Marsudi Jaya tersenyum dekat wajahnya. Ditafsirkannya senyuman itu, dia bingung sendiri. Penuh arti. Tak tertebak, yang mana kira-kira maksudnya.

***

Sepanjang perjalanan konvoi pulang ke kampus, hatinya bergejolak. Dikepalanya ada yang berjoged, pertanyaan-pertanyaan.

Apalagi Marsudi Jaya, secara khusus memintanya untuk berkendara bersisian. Jadilah motor gambot warna coklat itu melaju bersisian dengan scooter itali-nya Wadiarini Anya.

"Meluncur bersamaan begini sudah amat senang, apalagi kalau duduk diboncengan-nya, ..." khayalan liarnya, tiba-tiba mengganggu.

"Masak, sih, ... Aku tiba-tiba suka dia, .... Atau hanya karena aku belum punya pasangan saja, ...?" , sambung bisik hatinya.

Tiba-tiba terlintas bayangan wajah yang selalu hadir dalam pikirannya. Wajah milik pacarnya Warsini Wulandari, teman sekelas yang jelita itu.

"Aah, dia lagi, dia lagi, Dia itu punya-nya orang, tau !. Mengapa harus dia yang selalu kamu harapkan, Wadiarini Anya ! Bukankah dia orang paling menyebalkan di bumi ini, menyebutmu "Wad !" Wadiarini Anya berusaha menyadarkan dirinya sendiri.

Gemuruh gejolak hatinya, beruntung tidak mengganggu kendali pada si scooter demplon itu. Tetap melaju dalam kecepatan sedang. Seiring-iringan konvoi yang panjang meliuk-liuk, mengikuti jalan menuruni bukit.

***

Keluar dari pintu utara kampus, si demplon hijau pucuk daun itu diikuti si gambot coklat.

"Sampai jumpa !" , serunya kepada penunggang motor jepang itu. Tangannya melambai, diikuti syal kuningnya. Seraya diputarnya kuat-kuat tuas gas.

Si demplon pun melesat diantara keramaian lalu lintas. Menyelap-nyelip diantara mobil-mobil. Tak biasanya, Wadiarini Anya berkendara seperti itu. Entah mengapa, dia merasa hebat bisa melesat seperti itu, sukses menerobos kepadatan lalulintas.

Dia masih duduk di jok, ketika motor distandarkannya. Dilepaskannya kain yang terbelit dilehernya, lalu helm.

Tukang jual empek-empek berinisiatif menekan bel di gerbang besar, menuju bagian dalam halaman rumah.

Tiba-tiba si gambot coklat berhenti disamping sang demplon.

"Wadiarini Anya, kamu mau makan apa ?"

Yang ditanya, kaget. Tak menyangka diikuti Marsudi Jaya. Dia belum menjawab, hanya melihat kesekeliling tenda-tenda di halaman luas, di depan rumahnya.

"Kita makan soto madura, yuk ! Aku pernah beberapa kali makan di situ. Enak"

Wadiarini Anya, terpana, mengikuti langkah ke arah tenda pak Tiarum. Tenda soto daging ala madura. Tak ada kursi kosong. Semua ada yang menempati. Mereka berdiri celingukan, menanti siapa yang sudah selesai makan.

Aroma soto itu menggugah selera, daun seledri, tebaran bawang goreng dan uap kuah berdaging sapi muda. Sulit diingkari nikmatnya.

Pembaca, ... Kalian suka juga, 'kan ?

Mereka tak bicara, sibuk menyuap dan mengunyah daging-daging empuk, diantara nasi beras jawa. Pandan Wangi.

Pengunjung yang datang terlebih dulu, satu-satu pergi. Umumnya pasangan muda. Seperti pegiat kampus itu.

Wadiarini Anya, sedang mengangkat sendok ke arah mulutnya, Ketika gawainya berdering. Muncul wajah ibunya, tersenyum.

"Assalammu'alaykum, bu, ... Aku di depan, bu. Sudah dari tadi sampai , ..."

"Lho, anak ibu, kok tidak bilang. Ibu gelisah menunggu, tidak ada kabar, ..."

"Maaf, bunda, ... makan soto dulu. Lapar, ..."

"Yaa, sudah, ... cepat masuk yaa, ..."

Marsudi Jaya terus mengunyah, dia pesan satu porsi soto lagi.

Tiba-tiba ada yang menyapa,

"Neng, neng, maaf, saya minta kunci scooternya, ..."

Tidak bicara apapun, kunci dan jacket hijaunya dia berikan.

"Itu siapa, kok, kamu berikan ?"

"Sopir ayahku, pak Juned, ..."

"Emang, mau di bawa kemana ?"

"Dimasukan, ini kan rumahku, ..."

"Becanda yaa, .... bisa becanda juga si cantik , ..."

Mendengar kalimat itu Wadiarini Anya, tersipu.

"Eeh, neng redin, ... maaf, baru tahu, ... tadi ramai pembeli, tak terperhatikan, ... Maaf yaa, neng.... Sama mas Jaya, yaa. Pacar, yaa neng, ..." , cerocos Pak Tiarum.

Dua orang itu saling kaget, satu sama lain dikenal Pak Tiarum. Orang itu kembali melayani pembeli yang baru datang.

"Kamu kenal di mana ?", kalimat itu mereka ucapkan bersamaan.

"Kamu dulu, ...!" , seru sang mahasiswi, meminta jawaban.

"Aku sudah cukup lama kenal pak Tiarum. Semua warung tenda disini sudah kubuat videonya. Semua sudah kumuat di youtube. Sekarang kamu, ...."

"Aku juga sudah kenal mereka semua, ...."

"Jangan ikut-ikutan, jangan becanda lagi, cantik, ..."

"Benar, aku gak becanda, ..."

Tiba-tiba, pintu jati besar dibelakang Pak Tiarum, terbuka sedikit. Wajah seorang ibu mencembul di situ. Mengedarkan pandangannya, berhenti di punggung seseorang. Lalu dia amati gerak-geriknya. Yaa, pasti itu anak perempuannya.

Pintu itu ditutup pelan-pelan, tapi tidak dikunci. Hatinya tak bisa dipungkiri, gembira. Suatu yang lama dipendamnya, ingin anak cantiknya punya calon suami.

"Mudah-mudahan anak laki itu, sedang jatuh cinta, ... Kelihatannya Wadiarini Anya suka, ...", ibu yang masih tampak gesit itu, menulis pesam singkat,

"Anakku yang baik hati, kalau sudah selesai makan, ngobrolnya pindah ke ruang tamu, yaa . Pintu depan sudah ibu buka kuncinya. Ajak teman-mu masuk, ..."

Jreeng, jreng-jreng pesan itu langsung dibaca "sang kutilang samat" , kurus tinggi langsing, sawo matang.

Spontan, tangannya menarik tangan Marsudi Jaya, ...

"Jaya, ayo masuk kerumah-ku, ..."

Kali ini Marsudi Jaya yang tergelandang ditarik gadis yang diantarnya itu.

"Pak Tiarum, permisi sebentar, saya mau lewat"

Bukannya menjawab, Pak Tiarum berdiri dan menggeser kursinya, yang membelakangi pintu.

"Waah hebat, mas Jaya jadi pacar eneng, ... Pacar pertama yaa neng, ... Selamat yaa, ...."

Untungnya perhatian Marsudi Jaya fokus ditangan yang menariknya itu. Dia tidak perhatian kata-kata berdialek kental. Khas Madura.

***

Wadiarini Anya mempersilahkan tamunya duduk di ruang tamu luas. Penuh ornamen dan benda-benda seni. Sementara dirinya langsung masuk kedalam menemui ibu dan bapaknya di ruang tengah. Mereka sedang membaca.

Televisi berlayar super lebar itu tidak menayangkan siaran TV, tetapi menyajikan video konser musik klasik. Tata suara dengan beberapa speaker di sudut-sudut ruangan keluarga, membuat suasana persis ditengah-tengah auditorium konser. Seperti nyata.

Suara konser itu menyentuh telinga Marsudi Jaya, ketika pintu menuju ruangan dalam dilewati tuan rumah.

Marsudi Jaya dari tempat duduknya mengamati benda-benda seni disekelilingnya.

"Ini bisa jadi obyek foto yang luar biasa, ..." gumamnya. Kebiasaan langsung memotret obyek yang dikagumi, tidak dilakukannya

Wadiarini Anya, muncul mengenakan kaos lengan panjang bergaris horisontal hitam-putih. Dengan celana panjang putih.

"Maaf, aku lama, yaa, ..."

"Gak, lama, ... Aku belum selesai mengagumi koleksi benda-benda seni, ... Bahkan ukiran di kursi ini, luar biasa indah detilnya, .... Sementara aroma bunga sedap malam di vas keramik itu, membuat suasana yang tak biasa ...", ucap  lancar Marsudi Jaya. Nadanya persis penyiar, kali ini mirip penyiar TVRI.

"Aah, bisa-bisanya kamu, mentang-mentang orang pers, ..." saut gadis berkaos itu.

"Sungguh, aku tidak memuji, nyata yang kulihat ini. Setara dengan penampilan yang punya ..."

"Emang, kamu sudah ketemu, yang, punya ?"

"Kamu tuan rumahnya, yaa, kamulah yang punya, ..."

"Jadi, aku sama yaa, benda antik, 'gitu ? ... Semua ini milik ibu-bapak-ku, tau ?!"

Sambil mengucapkan kalimat itu, matanya bebas memandangi wajah ketua unit itu. "Lumayan juga, jauh untuk bisa disebut jelek. Aku suka, ...!" , seru batinnya.

Masudi Jaya, tiba-tiba merasa pernah melihat beberapa sudut ruangan ini. "Tapi di mana, yaa"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun