Oleh : Soetiyastoko
Gerah, dia lagi, dia lagi yang dimunculkan. Begitu yang terjadi, di banyak chanel televisi. Kenapa bisa begitu ? Amat pentingkah ? Atau ada sesuatu yang dapat di jadikan pelajaran ?
Yang pasti, hingga hari ini, belum kutemukan hikmahnya. Ini pertanda, kemampuanku memahami sesuatu, terbukti lagi. Di bawah rata-rata.
Terus terang, andai aku punya dana besar, akan kuundang kalian semua untuk kuajak mendiskusikannya. Sekalian berkenalan dengan kamu-kamu yang sekian lama, berkenan membaca tulisanku.
Dua pihak yang saling menyerang dan saling merasa benar itu, memang baru beberapa tahun bersalaman. Berkenalan.
Mereka bukan selebriti politik. Juga bukan, tokoh penting yang tiba-tiba jadi sorotan kamera, kata-katanya disimak banyak orang.
Namun, terbukti sukses mengerek rating  rubrik tayangan, yang, sebenarnya dilarang agama dan mengundang dosa.
Katamu, "Kau seperti yang tidak tahu saja, .... stasiun pemancar gambar dan suara; bukankah tidak beragama, yang mereka takutkan hanya, rating jeblok !"
Yaa, yaa, yaa, jangan diteruskan omongan-mu itu. Jangan kebanyakan, komentarmu.
Bisa merusak alur tulisanku ini.
Sekali lagi, apa untungnya penonton menyimak omongan yang saling tuding. Sekaligus, pembelaan-pembelaan diri, yang muncul, dipancing pertanyaan para reporter itu ?
"Itu bukan wilayah kita, untuk menemukan jawaban !" Celetuk Pak RW, sambil memindahkan kuda. Mundur kebelakang. Dia kembali terdesak. Sudah kalah dua babak.
Pos ronda, semakin asyik untuk ngobrol ngalor-ngidul.
Ada yang menyeduh kopi. Ada yang baru datang, bawa kukusan singkong.
"Pak RT, gulanya habis !" Seruan itu diarahkan padaku. Yaa, aku lupa, menyuruh Potas untuk mengisi toples plastik itu.
Aku kembali mengetik di tabletku. Sedang mengais rejeki. Enaknya jadi penulis masa kini, adalah dukungan teknologi. Tak seperti dulu jaman mudaku. Harus duduk didepan mesin ketik dan suaranya berisik.
Tidak perlu stock kertas dan amplop, lalu ke kantor pos. Antri di loket "Kilat Khusus" .
Enaknya di loket seperti itu, tidak perlu menempelkan perangko. Tinggal "dog-dog-dog, di cap".
Aah, aku jadi ingat, protes-protes gadis-gadis cantik sahabat pena-ku. "Kirimnya, 'gak usah kilat-khusus, ... Biasa saja, pakai perangko. Aku 'kan koleksi perangko !"
Aneh, kalau ditelaah dari kacamata anak "jaman now". Tinggalnya sekota, bukannya didatangi saja mestinya. Bukan surat-suratan. Ribet.
Aah, mereka tidak tahu, rasanya gelisah. Menunggu datangnya Pak Pos. Termasuk kecewa bila surat-surat yang diantarkannya ke rumah, tidak ada yang bertuliskan namaku.