Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

Jangan Nyinyir: Kualitas Bangsa, Berkontribusilah

9 Desember 2021   09:56 Diperbarui: 9 Desember 2021   10:03 86 2
Jangan Nyinyir : Kualitas Bangsa, Berkontribusi-lah

Oleh : Soetiyastoko

Kualitas suatu bangsa diantaranya, adalah kumpulan kualitas-kualitas pribadi, setiap individu rakyatnya.

Jika kualitas mayoritas individu rakyatnya baik, maka baiklah bangsa itu.
Demikian pula sebaliknya.

Mental bangsa adalah salah satu komponen kualitas yang penting. Berlanjut pada moralitas, disiplin, etos kerja.

Sedangkan "keber-agama-an", ketaatan dalam menjalankan agama adalah bagian lain, bagi sebagian bangsa lainnya di dunia.

Berbeda dengan kebanyakan bangsa lain, bangsa Indonesia, menyatakan diri "Berketuhanan Yang Maha Esa" seperti yang tertera pada ikrar Pancasila. Di sila pertama.

Dengan kata lain, setiap warga bangsa Indonesia, mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, setiap individu bangsa Indonesia, mengakui dan menjalankan perintah Tuhan.

Jadilah negara kita bukan negara atheis, tetapi negara beragama. Walau tidak menunjuk pada keyakinan tertentu, namun mengakui setiap agama yang dianut warga negaranya. Termasuk setiap warga negaranya secara formal beragama. Tidak atheis.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas agama-agama. Namun merujuk keyakinan umum, bahwa ada  nilai-nilai universal dan akal sehat yang jadi dasar moralitas, sikap dan tata-titi hubungan sosial diantara manusia.

Berangkat dari paragraf di atas, maka nilai-nilai umum, moralitas, akal sehat dan pendapat umum.  Menyatakan bahwa :
Ada nilai-nilai luhur yang baik, dijunjung dan diberlakukan.
Ada nilai-nilai buruk yang harus dihindarkan, dalam kehidupan serta interaksi warga negaranya.

Termasuk dalam pengaturan dan pelaksanakan kehidupan berpolitik dan bernegara beserta segala aspeknya.

Nilai-nilai itu diharapkan dapat dijaga dan di-estafetkan dari generasi ke generasi berikutnya. Sedapat mungkin, tidak memberi ruang deviasi kearah pertumbuhan yang negatif.

Balita, menjadi anak-anak, berlanjut tumbuh jadi pemuda-i yang menerima estafet berbangsa.

Para orangtua, bertanggung jawab menjadi media tumbuh berkembangnya generasi penerus. Berkualitas dan berdaya saing tinggi, di lingkup kehidupan nasional hingga internasional.

Hal-hal positif, hanya tumbuh dari sesuatu yang baik.

Pepatah lama menyebut, "ketika padi ditanam, rumput ikut tumbuh. Ketika rumput rimbun subur, tak ada padi yang turut tumbuh".

Hanya kebaikan yang menumbuhkan hal-hal yang baik. Pernyataan itu perlu diyakini setiap individu, agar masing-masing senantiasa melakukannya.

Dimulai dari rumah, dilakukan dan dibiasakan melakukan kebaikan-kebaikan.

Bangun tidur sebelum matahari terbit, melipat selimut, membersihkan dan merapihkan tempat tidur, kemudian membersihkan diri. Mandi. Adalah kebiasaan dasar yang harus ditanamkan dan ditegakan para orangtua.

Rutin membaca buku, belajar di rumah, pada jam yang sama. Itu pun harus dibiasakan dan dicontohkan orangtua. Pada saat seperti itu, warga rumah, semestinya tidak ada yang menonton layar kaca ataupun mendengarkan radio.

Hal di atas amat penting, untuk membangun kebiasaan membaca, melatih daya pemahaman. Sekaligus daya tahan belajar dan baca. Menjadikannya aktivitas yang menyenangkan.

Tidak terbatas pada buku pelajaran, bisa juga yang lainnya. Termasuk cerita, pengetahuan umum dan sebagainya. Sepanjang menyangkut hal-hal yang positif.

Daya baca, daya paham akan tumbuh bila dibiasakan. Orangtua, bertanggung jawab membiasakan dan menumbuhkan hal ini, terhadap setiap anak-anaknya.

Hasil akhirnya, mereka tidak "alergi bila melihat buku penuh tulisan, yang hampir tanpa gambar". Apalagi bila bukunya relatif tebal.

Setiap orangtua, harus paham, bahwa hal ini salah satu kunci sukses belajar setiap anak. Di sekolah, di perguruan tinggi dan kelak di masyarakat. Salah satu sumber kualitas bangsa.


Ketika "daya baca" dan "daya paham" seseorang itu baik dan tinggi. Maka tingkat kejujuran, ke-amanahan-nya pun diharapkan ikut meningkat.

Taat pada larangan dan patuh perintah, yang terangkum dalam kata taqwa.

Ketika dia membaca bagaimana kehidupan yang baik harus ditempuh, dan, paham akan akibat negatif bila melanggar aturan dan hukum. Dia tentu lebih mudah baginya melaksanakannya.

Saat seseorang sadar dan paham, bahwa perbuatan korupsi itu lebih dahsyat keburukannya dibanding mencuri sepeda tetangga. Maka akan tumbuh kendali diri, untuk tidak melakukannya.

Termasuk perbuatan mencontek saat ulangan, ujian atau menulis skripsi. Saat melengkapi persyaratan kenaikan pangkat atau jabatan -dengan- gelar sarjana, yang diraih dengan halalkan segala cara. Melanggar norma.

Mengupah orang-orang dilembaga pendidikan, agar memberi gelar keilmuan. Tanpa memiliki kapasitas yang teruji.

Gelar kesarjanaan termasuk Doctor Honoris Causa, abal-abal dan memalukan, tanpa kapasitas  atau karya nyata yang teruji dan unggul.

Mereka akan malu dan menjaga diri, untuk tidak melakukan hal-hal buruk, seperti itu.

Apalagi, hanya demi kepentingan harga diri, gengsi dan keterpilihan dalam politik. Malu dan memalukan, pribadi dan lembaga yang memberikan "gelar-kosong" itu.

Mari kita benahi, segala sesuatu yang menjadikan kualitas bangsa bisa meningkat.

Kita mulai dari diri sendiri, keluarga inti dan lingkungan terdekat. Di tingkat RT, RW hingga selanjutnya.

Sebuah cara sederhana berkontribusi pada bangsa dan negara.

Tidak sekedar mengulang-ulang membaca-lantang ikrar: Sumpah Pemuda.
***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun