Entah serius atau tidak, ada beberapa oknum kepala desa yang ikut demonstrasi mengeluarkan sebuah peringatan bernada ancaman kepada partai politik bahwa mereka akan "menghabisi" suara partai-partai politik yang tidak mendukung revisi terbatas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang salah satunya akan memasukkan klausal soal perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun pada Pemilu 2024.
Ancaman tersebut diantaranya disampaikan oleh beberapa oknum kepala desa asal pulau Madura, Jawa Timur.
Salah satunya yakni Kades Tentenan Timur, Larangan, Pamekasan, Farid Afandi. Dikutip dari CNN Indonesia.com, Farid mengatakan
"Suara parpol di Pemilu 2024 nanti yang tidak mendukung masa jabatan Kades jadi 9 tahun akan kami habisi," tutur Farid saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (20/1).
Hal tersebut bukan untuk pertama kalinya. Sebelumnya, beredar di media sosial video orasi Farid bersama sejumlah Kades di Madura yang menyatakan ancaman untuk menghabisi suara parpol yang tidak mendukung aspirasi mereka.
"Revisi Undang-Undang, sekarang juga. 9 tahun, harga mati. Partai yang tidak mendukung, habisi. Siapa kita, Perkasa Pamekasan. Perkasa Pamekasan, solid dan bersatu," kata Farid yang merupakan orator di video tersebut.
Saat ini, Farid bersama kades lainnya pun terus memantau sikap partai dalam persoalan ini. Menurutnya sejauh ini ada lima partai yang berpeluang mendukung wacana itu.
"Partai untuk sementara yang kami terima telah mendukung yakni PKB, PDIP, Gerindra, Golkar dan PPP, partai lainnya masih kami pantau," ungkapnya.
Atas ancaman yang disampaikan oleh oknum kepala desa kepada partai politik tersebut banyak pihak yang kemudian merasa heran dan terkejut karena untuk pertam kalinya terjadi dalam sejarah bahwa ada oknum pejabat publik sekelas kepala desa yang notabene merupakan jabatan paling rendah dalam tatanan struktur pemerintahan di Indonesia berani mengancam partai politik, padahal selama ini lembaga negara sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kepolisian saja tidak ada yang berani mengancam partai politik.
Lalu seberapa besarkah sebenarnya pengaruh seorang kepala desa sehingga berani "mengancam" partai politik untuk mendukung usulan mereka memperpanjang masa jabatan kepala desa?
Penulis sendiri menganalisis bahwa kepala desa berani mengancam partai politik karena mereka merasa mempunyai basis suara didesa yang merupakan pendukung kepala desa terpilih pada saat proses pemilihan kepala desa (pilkades).
Namun yang perlu dipertanyakan apakah para pendukung kepala desa terpilih tersebut kemudian akan juga mau mengikuti arahan sang kepala desa untuk memilih calon tertentu dalam pemilu?
Jawabannya menurut penulis tentu saja tidak. Sebagian kecilnya mungkin saja iya, tapi penulis meyakini sebagian besar pendukung kades terpilih tidak akan mudah begitu saja mengikuti arahan dari sang kepala desa untuk memilih calon tertentu dalam pemilu, apalagi dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa jelas disebutkan bahwa seorang kepala desa dilarang terlibat dalam kampanye pemilihan umum, Pilpres ataupun Pilkada.
Itu artinya, jika memang ada kepala desa yang terbukti mengarahkan warganya untuk memilih calon tertentu dalam pemilu, hal tersebut merupakan sebuah pelanggan hukum yang dilakukan oleh kepala desa. Atas pelanggaran tersebut seorang kepala desa bisa dijatuhi sanksi administratif sampai dengan yang terberat adalah sanksi dinonaktifkan dari jabatan sebagai kepala desa.
Selain itu, seorang kepala desa terpilih dalam suatu pilkades juga tidak selalu sebagai peraih suara mayoritas di desa, tetapi sebaliknya justru sebagian besarnya kades terpilih adalah merupakan calon kepala desa peraih suara terbanyak dalam sebuau pilkades, oleh karena itu sangat mungkin justru suara dari para calon kepala desa yang kalah dalam pilkades adalah suara mayoritas dalam sebuah pilkades di desa.
Hal tersebut terjadi karena dalam pilkades memang tidak menganut sistem suara mayoritas 50 persen +1 seperti pada Pilkada DKI Jakarta atau Pilpres, tapi pilkades adalah menggunakan sistem suara terbanyak.
Jadi, dalam sebuah Pilkades yang diikuti oleh maksimal lima orang calon kepala desa misalnya, maka kepala desa dengan perolehan suara terbanyak dalam pemilihan kepala desa tersebut adalah merupakan kepala desa terpilih berapapun persentase perolehan suaranya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ancaman yang dilayangkan oleh oknum kepala desa kepada partai politik pada saat demo didepan gedung DPR/MPR Jakarta adalah sebuah ancaman yang sama sekali tidak mendasar dan hanyalah "gertak sambal" belaka.
Tujuannya jelas, yakni untuk memberikan pressure kepada partai politik agar menyetujui revisi terbatas terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang akan memasukkan klausal tentang perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun dalam satu periode masa jabatan.
Akhirnya, mengingat saat ini sudah memasuki tahun politik semoga saja partai-partai politik peserta Pemilu 2024 tidak terpengaruh dengan ancaman yang disampaikan oleh oknum kepala desa sebagaimana tersebut diatas dan dapat menelaah usulan kepala desa atas perpanjangan masa jabatan mereka dengan objektif dan mempertimbangkan segala masukan yang disampaikan oleh pihak-pihak yang terkait.
Karena revisi atas sebuah peraturan perundang-undangan seharusnya tidak boleh dilakukan atas dasar pertimbangan politis semata, namun harus atas dasar pertimbangan yang objektif dan kajian-kajian keilmuan yang memadai dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pematang Gadung, 4 Februari 2023