Aku menjaga tungku yang berisi kayu bakar yang kita kumpulkan dari hutan yang berbeda.
Tungku itu memang kadang-kadang seperti tak berapi. Kadang-kadang juga hanya berisikan asap yang memerihkan mata. Tetapi, aku tak pernah tertarik menjauh dari sana.
Dari jendela bus yang kunaiki pagi ini, aku bisa merasakan betapa dingin udara di luar sana. Andai tungku di dadaku ini padam, mungkin aku akan gemetar dengan dingin yang menusuk begini. Maka, ke mana saja kakiku terayun, sejenak pun tak kubiarkan ia memadam. Kuyakin, kau percaya itu.
Embun yang menempel di jendela itu, membawa sejuk yang beda. Sejuknya itu tak membuatku ketakutan akan membuatku beku lalu mati kaku. Justru, embun ini seperti senyummu.
Bening.
Lembut.
Bedanya, embun-embun di jendela bus ini pasti akan menguap hilang entah ke mana nanti saat matahari sudah mulai terik. Sedang senyummu, aku tak tahu bagaimana itu terjadi, masih tetap tersungging lebar bahkan ketika aku berjalan di kawah matahari itu sendiri.
Di bawah matahari itu, kau tak pernah di sisiku memang, tapi di dalamnya. (FOLLOW: @zoelfick)