Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Melihat Aceh, Negeri Darah

19 Februari 2011   07:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:28 171 0
Aceh tadi pagi masih seperti Aceh seribu pagi lalu juga. Ia berwajah seperti perjaka menawan, namun hanya menarik perhatian perempuan tua. Juga berwajah mirip perawan, namun harus menyerahkan badan pada lelaki-lelaki tua yang menderita ejakulasi dini.

Nah, pagi tadi baru saya lihat. Saat ia berubah ujud sebagai perjaka. Ia kehilangan gairah kelelakiannya. Untuk bisa mendapatkan gadis belia, ia harus mandi di kolam berwarna merah. Kolam darah. Dengan syarat, perempuan tua itu harus mati. Seperti itu pula saat ia berwujud perempuan muda.

Saat sedang berperan sebagai perawan muda. Cuma lelaki-lelaki tua saja yng ingin nikahinya. Sedang lelaki muda berdada bidang di sekelilingnya, hanya tertarik menyetubuhinya. Namun, saat diajak menikah, malah rambutnya dijambak dan kepalanya yang harusnya dibelai justru dibenturkan ke karang-karang.

Wajahnya yang sekarang kusut masai, benar-benar sulit dikenali. Pesan bapak, saya harus memeluknya. Entah sebagai teman, jika ia lelaki. Atau sebagai kekasih, jika ia adalah perawan.

Ah, dia seorang perawan, yang tubuhnya kerap kusentuh. Tetapi muka kusutnya membuatku berpura-pura amnesia.

Yang berpura-pura, sejatinya tidak berhak menyentuh apa-apa. Taruhlah kelak Aceh diubah menjadi bidadari yang lebih cantik dari lukisan dongeng, tetap juga tidak berhak. Sayang sekali, saat Aceh sebagai bongkah tanah. Mereka yang menginjaknya pun, menginjak dengan pura-pura. Menanam bunga, di selokan dalam, penuh tinja. Sedang bunga dengan tinja yang menenggelamkannya, bagaimana diharapkan tumbuh dan menebar aromanya sebagai sekuntum bunga?

Inilah catatan tentang Aceh. Tertulis bersama embun sejuk yang sedemikian cepat menguap.

Berharap sumur untuk mandi dan bersuci. Katanya harus berikan dulu darah kembali

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun