Mata itu. Iya, mata yang kerap bersitatap denganku. Saat bicara tentang harga darah dan nyawa."Ada yang lebih mahal dari itu, harga diri." Katanya suatu ketika. Jauh sebelum 19 butir peluru melesak ke dalam tubuhnya."Memiliki nyawa dan darah. Tanpa harga diri jauh lebih buruk daripada mati!"
Aku hafal sekali. Setiap kalimat yang meluncur dari lidahnya pasti berisi tekanan-tekanan, isyarat penegasan.
"Endatu kita tidak memenjarakan otaknya antara hidup dengan mati. Tidak membelenggu hidup dengan ketakutan. Sayang sekali, setelah mereka mati, lebih banyak dari kita yang malah ketakutan pada lapar. Entah otak mereka tidak cukup bisa berpikir. Yang punggungi langit dan tidak punya pikiran saja jarang lapar." Ujarnya ketika itu persis beriringan dengan matahari yang sedang beranjak tepat di atas kepala. Sambil melihat beberapa kerbau yang sedang berlarian merobek pematang.