Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Melirik Transmigran di Pantai Barat Aceh

14 Januari 2011   09:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:36 478 0
Meski mereka memiliki corak wajah dan bahasa yang berbeda seperti umumnya ureueng Aceh. Namun, mereka bisa membaur dengan penduduk di berbagai desa yang ada di propinsi di ujung Sumatera itu. Tak jarang, sebagian mereka bisa hidup makmur bahkan melebihi penduduk lokal.

Aceh dengan masyarakat transmigran dari Jawa menjadi cerita yang penuh warna. Tak pelak, ketika konflik, kerap terjadi penzaliman terhadap mereka. Itu dilakukan beberapa oknum gerilyawan yang keliru menginterpretasikan kondisi politik dengan tudingan Jawanisasi. Namun, sejatinya, bahkan ada masyarakat transmigran yang malah menjadi kombatan membantu perjuangan gerilyawan.

Sebab, memang dasarnya sejarah keberadaan suku Jawa di Aceh telah ada sejak Indonesia belum berdiri. Ini berdasar beberapa catatan yang pernah saya temukan. Di sana, bisa disebut sudah tidak ada pemilahan terlalu serius. Antara masyarakat transmigran dengan penduduk lokal sudajh menyatu dengan baik.

Di Nagan Raya. Bahkan terdapat beberapa pengusaha yang cukup terkenal di kalangan ureueng Nagan. Mereka bahkan bisa pekerjakan penduduk lokal--di luar perusahaan sawit skala besar yang juga ada.

Kemudian juga dalam kehidupan sosialnya. Tidak jarang masyarakat transmigran yang tidak hanya berdiam di komunitas sesama transmigran, menjadi tokoh agama bahkan menjadi kepala desa. Pun sampai ke tingkatan politik jauh ke atas semisal kabupaten. Terdapat beberapa nama yang berasal dari masyarakat transmigran Jawa. Ini cukup menjadi indikator kecerdasan masyarakat Jawa dalam bergaul dan hidup berdampingan dengan masyarakat lokal.

Menariknya. Meskipun masyarakat transmigran itu bisa berbaur dengan penduduk lokal secara baik. Namun, mereka tidak meninggalkan tradisi mereka sendiri. Misal saja pertunjukan wayang dan lain sebagainya. Itu masih bisa dengan mudah ditemukan sampai sekarang.

Kendati tidak diatur secara tertulis. Masyarakat transmigran dengan penduduk lokal biasanya dengan bijak bisa siasati soal budaya dasar. Sebut saja, terkait pertunjukan yang bersifat tradisi itu tadi. Jika mereka mengadakan perhelatan nikah, mereka ureueng Aceh lokal yang berdiam di lokasi yang sebagian penduduknya adalah masyarakat transmigran lebih memilih menggunakan pesta dengan menanggap wayang misalnya. Begitu juga sebaliknya.

Pun, sudah sering terjadi ureueng Aceh menikahi gadis-gadis transmigran. Patut dicatat, gadis transmigran sering menjadi rebutan pemuda Aceh. Karena berkembang anggapan, gadis Jawa dipandang lebih telaten mengurus suaminya.

Lepas dari itu semua. Pembauran penduduk dengan pola transmigrasi itu saya perhatikan memang sangat positif. Tentu itu juga berdasar pada pemandangan positif yang saya amati di Aceh.

Percaya atau tidak. Masyarakat transmigran di Aceh dikenal sebagai masyarakat yang ulet. Mereka memiliki kemampuan bekerja yang luar biasa. Tak hanya kalangan lelaki saja. Yang perempuan pun tidak kalah.

Ketika saya kecil sampai usia saya sekarang yang telah setengah perjalanan. Masih cukup membekas di ingatan saya pemandangan yang kerap saya lihat sendiri. Perempuan transmigrasi menjajakan dagangan hasil kebun dengan berjalan kaki. Itu juga bukan dalam jarak dekat. Melainkan bisa sampai 30 kilometer bahkan lebih. Juga patut digarisbawahi, bisa merujuk kepolisian, teramat sangat jarang ada catatan masyarakat transmigran melakukan kriminal di Aceh.

Sayangnya, selama reformasi, soal transmigrasi sejauh ini tidak lagi terlihat sebagai isu yang sering diangkat. Juga, sudah jarang terketemukan kabar pemerintah menginisiasi sustainabilitas program tersebut. Padahal, masih sangat luas bumi nusantara ini yang butuh tangan-tangan cekatan untuk membangun.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun