Haroem bee bungoeng hai adoe leupah that meusra
Dua geutanyoe hai adoe ta meuduek dua
Pernah mendengar lirik tersebut? Yap, ini salah satu lagu etnik yang cukup familiar di Aceh bercerita tentang pemuda yang mengibaratkan gadis pujaannya seperti bunga. Diramu dalam nada-nada yang memang sangat menyentuh. Tidak mengada-ada, meski tidak memahami bahasa Aceh, namun aura cinta yang ada dalam lagu ini akan terasa---jikalau Anda berkesempatan mendengarnya.
Berbicara Aceh dengan lagu daerah. Seperti halnya daerah-daerah lain juga di Indonesia memang ureueng Aceh juga tidak bisa dipisahkan dengan musik. Tak pelak, bahkan di pelosok pedesaan sekalipun, kita akan dengan mudah menemukan gadis-gadis yang turun ke sungai untuk mencuci sambil melantunkan jangeuen (sebutan ureueng Aceh untuk: lagu). Sedang yang lelaki, biasanya pasti membentuk grup-grup rapa'ie yang di sana mereka mengekspresikan lagu-lagu yang mereka bisa dan juga yang mereka ciptakan sendiri.
Meski pada umumnya lagu Aceh memang lebih banyak berisi tema reliji. Namun, seperti lirik di atas, memang juga tidak sedikit lagu-lagu yang berisi tentang cinta. Sebuah keunikan dari lagu-lagu itu, karena kendati berisi tentang cinta, namun masih tetap tidak menepikan 'nada' khas Aceh yang memiliki alunan dan pembauran 'aura' keacehannya.
Sehubungan dengan lagu-lagu etnik Aceh yang bertema dasar tentang cinta. Untuk era 80-an dikenal beberapa nama seperti Ibnu Arhas, Abu Bakar, Yakop Thailah dan beberapa nama lainnya. Cuma, kekurangan dari penyanyi ini, karena mereka acap mengadopsi irama lagu dari negeri Arab dan juga India. Cenderung tidak banyak mengkreasikan nada-nada sendiri, kecuali Ibnu Arhas. Terdapat titik kesamaan pada mereka karena biasanya mempergunakan alat musik seperti halnya lagu-lagu Melayu dan bahkan juga dangdut. Tentu saja yang sangat mencolok adalah suara gendang.
Selanjutnya juga Bob Rezal. Figur terakhir ini condong menciptakan nada yang juga unik, touched dan tidak meninggalkan kekhasan Aceh. Ia memiliki kelebihan bisa meramu model musik kontemporer dengan nada yang juga ia ciptakan sendiri. Tidak serta merta mengambil irama dari lagu-lagu yang sudah pernah ada (misal, India yang memang sangat akrab dengan selera ureueng Aceh). Salah satu lagu yang diangkat olehnya dan sangat terhapal oleh aneuk muda Aceh (pemuda)
Dari sini, saya menduga bahwa alm. Bob Rezal menjadi pelopor dalam hal keberaniannya keluar dari trend lama yang lebih memberhalakan irama dari India dan Arab, di Aceh. Tak pelak jika generasi selanjutnya pun sudah memiliki kemampuan bernyanyi dengan aransemen musik dan performa yang juga keluar dari trend lama. Berbagai peralatan musik kontemporer seperti halnya juga dipergunakan oleh penyanyi dan pemusik modern, pun sudah mereka akrabi. Maka kemudian musik di Aceh kemudian hari menjadi kian berwarna. Sampai kemudian melejit nama-nama seperti Alm. Mukhlis yang melejit namanya lewat single Nyawoeng (terakhir, masa konflik lagu-lagunya kerap dilarang militer). Juga terdapat nama lain seperti Rafly, Sanggar IAIN dlsb. Dua yang terakhir meski memilih nada dan irama lagu yang sedemikian romantis, tetapi acap sekali lirik yang mereka pergunakan terasa lebih halus.
Tak kurang Ramlan Yahya, Raja dan Vojoel meski memiliki suara yang sangat empuk untuk didengar, namun sejauh ini lebih banyak digandrungi oleh masyarakat grassroot. Sedang masyarakat yang berada di strata sosial lebih tinggi sering menunjukkan sikap:"koen peunajoeh kee (bukan seleraku)".
Hanya saja, sayang sekali, mirip juga dengan berbagai lagu etnik belahan Nusantara lain, sepertinya masih terdapat celah kelemahan dalam marketing dan kemudian juga kepercayaan diri. Sehingga, masuk di akal kalau dari sekian banyak penyanyi Aceh yang sempat muncul sampai ajang internasional hanya Rafly, penyanyi yang lebih banyak memilih lagu-lagu reliji dan sufistik. (ZA)
Jakarta, 7 Des 2010