Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kambing Hitam di Negeri Antah Berantah

24 November 2010   08:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:20 254 2
[caption id="attachment_76895" align="alignleft" width="300" caption="Mending cari kambing beneran saja, pren (Gbr: Googleimages)"][/caption] Ah, kambing hitam memang tidak perlu dicari. Bukan dikarenakan bau. Sebab, ia memang tidak memiliki aroma apa-apa. Tetapi karena kata orang-orang yang lebih layak dipercaya daripada saya, kambing hitam itu hanya membuat jalan hidup semakin hitam. Membuat manusia bisa menjadi tidak enak didekati. Dari sejak pertama sekali bisa membaca buku sekitar dua puluh tahun lewat. Istilah pertama yang menarik perhatia saya adalah kambing hitam. Dengan pikiran polos ketika itu, saya benar-benar polos membayangkan kambing polos berwarna hitam. Meski mungkin secara kemampuan otak, tidak jauh berbeda dari dulu ketika saya masih bocah. Namun, sampai hari ini saya kerap membayangkan secara begitu saja seperti apa rupa dari kambing hitam itu. Dan, ketika melihat sekeliling dengan mata minus 1, 25 saya. Terlihat bahwa memang kambing hitam itu ada di mana-mana. Cuma saya sendiri tidak berani mengarahkan telunjuk ke orang-orang. Sebab, pilihan ini beresiko membuat orang menjadi marah dan selanjutnya mematahkan telunjuk saya. Resiko lebih lanjut, kesempatan saya pergunakan jari telunjuk untuk mengupil diam-diam tidak bisa dilanjutkan lagi. Maka saya bilang saja di negeri antah berantah yang kerap mencari kambing hitam. Meski mereka sudah diterangkan guru SD-nya bahwa kambing hitam itu tidak bisa dimakan karena memang ia tidak berdaging. Pun, ia juga tidak pernah dimasukkan dalam kelas ternak. Namun, kambing jenis itu tetap saja dicari. Mungkin karena mereka jauh lebih polos dari saya sendiri yang memang sering dikatakan polos. Sudah tahu kambing hitam itu bukan binatang, namun tetap juga menarik perhatian mereka untuk dicari. Entah apa-apa, kata orang Medan. Di sana, negeri Antah berantah yang memang tidak pernah ada di peta tersebut, mencari kambing hitam masih dipandang sebagai trend ketika bangsa lain malah sudah jauh lebih maju meski--bahkan--tidak pernah makan daging kambing. Entah pakar-pakar mereka yang paham masalah gizi, tidak pernah mencari dan menelusuri bahaya dari 'daging' kambing hitam itu. Saya tidak bisa menuding meski dihadiahi puding lengkap dengan mie campur kepiting. Dengan suara yang agak ngebas, plus ekspresi yang tidak bisa saya setting seperti yang acap dilakukan aktor atawa pemain-pemain film. Saya terkadang bilang, kambing hitam itu sangat berbahaya memang. Bikin orang yang terlihat waras tetapi malah menjadi benar-benar tidak waras. Mematikan kemampuan berpikir. Mengaburkan pandangan mata. Tidak saja mata yang ada di kepala tetapi juga mata hati. Nah, terkait yang terakhir ini, soal mata kepala dan mata hati, kalau keduanya sudah kabur akan sangat kepayahan untuk berjalan. Baik berjalan menuju tempat yang lebih baik, mengetahui jalan mana yang baik sampai untuk bisa melihat jalan yang mana sebenarnya yang harus diambil untuk menuju tujuan. Cuma, sayang sekali, entah karena saya tidak layak dipercaya. Saya lihat di tivi, koran-koran dan berbagai media, ada banyak sekali manusia di negeri itu yang masih 'konsisten' mencari kambing hitam. Bahkan, ketika nasib mereka sendiri sedang buruk kerap mengkambinghitamkan sistem, peraturan dan mental yang ada di sekeliling mereka. Sedang kambing hitam itu sendiri membuatnya tidak bisa melihat kesalahan sendiri (sambil mengarahkan satu telunjuk ke muka saya sendiri, ketika sedang menderita nasib buruk). Jadi, mari banyak makan daging, namun jangan mencari 'daging' dari kambing berwarna hitam. Mungkin dengan begitu, seperti apapun getirnya hidup, muka kita tidak perlu tercoreng warna hitam. Jakarta, 24 November 2010

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun