Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Mencari Perawan di Jakarta

29 Juni 2010   13:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:12 2795 0
[caption id="attachment_180745" align="alignright" width="300" caption="Ini tidak ada hubungan dengan keperawanan (Gbr: Flickr.com)"][/caption] Silahkan saja terlebih dahulu bayangkan ranjang, kamar pengantin, hotel, tempat wisata atau tempat apapun yang memiliki 'hubungan diplomatik' dengan soal keperawanan. Tapi sebelumnya, saya ingin menukil sedikit kekecewaan seorang kawan yang sudah lebih dulu merambah Jakarta,"Tidak ada yang bisa dibanggakan dari Jakarta, semua palsu. Mencari istri yang masih perawan di Jakarta, keluarkan dulu matamu, terus buru seekor elang dan pinjam matanya untuk dipasang di matamu." Saran kawan ini dengan berapi-api. Sedikit menyimak kata-katanya, kalau memang memburu elang dan meminjam mata elang memang memungkinkan, tetapi saya agak ragu bisa melakukan perburuan dengan mata sendiri yang sudah lebih dulu dicungkil. Sebab, jangankan harus mencungkil mata sendiri terlebih dahulu, dengan mata yang masih lengkap seperti ini saja belum tentu sarannya mampu saya laksanakan. Belum tentu bisa karena memang pilihan itu berat, atau mungkin juga karena saya sendiri masih berpikir lebih baik beli teropong mainan anak-anak daripada berburu elang yang jelas-jelas tidak berperikeburungan (istilah yang saya akui mengada-ada). Yap, tetapi setelah renung merenung, saya juga menemukan beberapa kesimpulan dari keluhan teman ini. Dalam arti keperawanan tersebut memiliki asosiasi dengan kesucian atau sesuatu yang masih natural atawa alami, jadi tidak melulu yang berhubungan dengan soal selangkangan gadis, lagi juga harga seorang perempuan tidak ditentukan oleh selangkangan mereka, tetapi sama juga seperti lelaki yang lebih dilihat dari kepala, dada dan penguasaan pelajaran tentang moral yang pernah dipelajari dari bangku SD dulu, ketika mereka masih 'perawan'. Syahdan, dari beberapa novel yang saya ikuti dan beberapa buku yang mengomeli Jakarta. Mengantarkan saya pada kesimpulan, di Jakarta tidak akan ditemukan senyum yang masih perawan (sebuah istilah yang juga saya paksakan, karena belum pernah digunakan orang-orang hebat negeri ini). [caption id="attachment_180776" align="alignleft" width="300" caption="Semoga masih ada embun yang jatuh di sana (Gbr: Flickr.com)"][/caption] Maksudnya, jika ada yang memberi senyum, seringkali itu adalah senyum yang dipelajari dari diplomat yang sering muncul di televisi. Senyum tersebut seringkali seperti sebuah simbol yang sangat dipahami orang-orang cerdas bahwa jika Anda mendapat hadiah meski sebuah senyum, sebaiknya pikirkan segera apa yang bisa Anda beri setelah mendapatkan senyum tersebut. Atau, senyum itu pun bisa juga karena di sana banyak bisnismen (kalau saya tulis businessman cuma mengotori bahasa negeri kita saja). Lalu, karena memang di sana banyak bisnismen jadi masyarakat yang hidup di sana terbiasa dengan kalkulator, berapa detik tersenyum, jika berjam-jam maka dalam sekian jam itu berapa detik. Semua dikalkulasi. Dari sini, menurut sahibul hikayat untuk senyum pun harus dipertimbangkan dan dihitung. "Kalau ada juga yang memberi senyum diluar kemungkinan itu, yakinlah, itu senyum yang sangat dipaksa. Dan kalau kau perhatikan senyum itu sama sekali tidak enak untuk dilihat, karena lebih mirip senyum sinis." "Jika berharap di Jakarta bisa menemukan senyum yang masih perawan (baca:asli), sebaiknya pulang kampung." Simpul saya setelah berkali-kali menjadi pendatang yang murni berlagak orang kampung saat beberapa hari di Jakarta, mendengar cerita kawan-kawan di sana. Ngeri, maka kemudian menepi ke Bandung, setidaknya di sini saya tidak terlalu ditelanjangi karena memang orang kampung yang dipandang memiliki keluguan tidak tanggung-tanggung. Berkepala bulat seperti tempurung dan kalau menulis pun terkadang tidak nyambung. Semoga yang membaca tidak sampai murung (ZA). -------------- Lagu yang menjadi inspirasi:

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun