[caption id="attachment_202871" align="alignleft" width="300" caption="Kutunggu saja matahari pulang (Gbr: dreamscene.org)"][/caption]
Malam adalah sungai pekat yang terasa panjang. Mengalir membawa sejuk tetapi tak ada yang terlihat. Termasuk sekuntum bunga yang sudah penuh warna, tidak lagi terlihat karena dingin telah membius rindu jatuh tersungkur di pasir-pasir di bawah rembulan. Kucoba berikan bunga itu tanpa berkata-kata, tetapi justru matamu tidak bisa melihat warnanya, hingga kau diamkan saja. Sedang aku, tidak bicara karena mengira, cinta itu bukanlah rangkaian huruf-huruf belaka yang bahkan bisa diucapkan oleh seorang raja dusta. Bisa diukir bahkan oleh mereka yang sebenarnya cuma melihat cinta tak lebih sekadar huruf, dan mati di sana tanpa penjabaran dalam sikap dan gerak penuh irama yang lebih sejuk dari belaian embun malam. Sempat terpikir, untuk apa kusimpan bunga ini jika warnanya tidak menarik perhatian dan kuasa membuka mata indahmu. Tetapi, setelah meremas segenggam pasir yang juga dingin, kutemukan setitik renungan bahwa dingin hanya baluti pasir-pasir dalam genggamanku hanya ketika matahari belum datang saja. Sedang nanti pagi, persisnya ketika siang sudah menjelang, dingin pasir akan berubah menjadi energi yang menyerap panas lalu terhembus angin dan malah bisa saja menjadi titik-titik api yang akan membakar semua beku. Saat itu, matamu kuyakin akan semakin terbuka, dan aku pasti berkesempatan melihat binar indahnya.
KEMBALI KE ARTIKEL