[caption id="attachment_156056" align="alignleft" width="196" caption="Srondol versi kartun (Gbr: M. Sampe Edward/ Serambi Indonesia)"][/caption]
Srondol dengan wajah begitu tulus, mirip dai kondang KH Zainuddin MZ berdiri bersama jamaah shalat di mushalla kompleksnya. Kesejukan merambat hatinya. Walaupun ia sering mengatakan ke Siumoy bahwa cuma gadis itu satu-satunya sebagai tambatan hati, namun saat sedang shalat Srondol sering memelas pada Tuhan,"Tuhan, aku gombali Siumoy sekedar untuk membuat ia tertarik pada ketampananku, ia takluk terus dia jadi istriku. Terus aku gak perlu tidur sendiri. Terus dia kasih anak untukku..." Karena ia tidak berani gombal saat shalat maka ia suka terus menerus menggunakan kata terus. Imam Shalat terlihat melafalkan takbir dengan irama agak sengau, karena sambil menata hati agar khusyu' shalatnya, Imam ini juga harus bersiasat dengan aroma tahi kucing yang sepertinya begitu dekat dengannya. Sedang Srondol, sepertinya jauh lebih khusyu' melafalkan takbir,"Allaahu akbar." Ia tidak mencium aroma apa-apa karena memang sedang beruntung. Beruntung dalam arti ia terkena flu, sehingga hidungnya yang ikut tersumbat membuat ia tidak terganggu dengan aroma apapun. Dalam hal ini, aroma minyak kesturi sekalipun akan terasa sama saja di hidung yang berbentuk seperti pisang molen itu. Maksudnya, hidung Srondol sering ditumbuhi jerawat sehingga benar-benar terbungkus selalu disebabkan saat jerawat yang satu hilang tumbuh lagi yang lain dan meninggalkan bekasnya. Kadang-kadang oleh kezaliman jerawat yang tidak tahu-menahu tentang posisi baris yang tepat dan strategis seperti dalam istilah militer. Makanya tak heran, akibat lebih jauh dari kesewenang-wenangan jerawat itu membuat hidung Srondol juga terkadang seperti wortel tertusuk paku. Ia begitu khusyu', paling tidak kalau dilihat dari air mukanya yang benar-benar sangat mirip dengan da'i sejuta umat. Imam dan jamaah shalat yang berdiri di dekatnya terlihat gelisah. Sedikitpun Srondol tidak merasa berdosa dan memang tidak berdosa sepertinya karena ia tidak tahu baju yang sekarang dipakai, tadi dipakai untuk mengelap muka Suheng yang berbalut tahi kucing. Lagian, Suheng juga salah, cuma memasang wajah memelas tetapi tidak beritahu Srondol kalau yang dilap Srondol itu sebenarnya tahi kucing. Srondol juga salah, memang, untuk mengelap wajah Suheng masa harus pergunakan bajunya sendiri. Tetapi, entah mungkin ada peran dari malaikat. Srondol terusir dari barisan jamaah shalat. Itupun [caption id="attachment_156065" align="alignright" width="200" caption="Srondol, saat sedang normal"][/caption] diawali dari rasa tidak enak di perutnya. Mungkin disebabkan lontong yang ia makan tadi pagi bercampur tempe yang sudah beraroma tidak enak. Cuma, karena urusan lontong-melontong (istilah Srondol), selalu saja bujang lapuk ini tidak bisa menahan selera. Kadang-kadang, kalau sedang melihat gerobak tukang lontong lewat, Siumoy yang sedang menjemur pakaian di halaman rumah tidak dipedulikannya. Walaupun dari 1001 jurus Gombal Sakti Pemakan Tumbal Basi yang ia keluarkan untuk taklukkan Siumoy, kerap ia katakan,"Moy, engkau begitu cantik melebihi Titik Puspa kalau sedang keringatan. Walaupun aku diminta memilih engkau atau lontong, pasti tetap aku pilih kamu walaupun aku harus lapar, diare, batuk-batuk, panu, kadas dan kurap sekalipun ku tak peduli. Karena hanya dirimu saja yang ada di hati." Dan itu hanya dilancarkannya kalau gerobak lontong sedang tidak melintas depan rumahnya. Tetapi, pagi tadi itu, meski awalnya sudah diniatkan untuk mencandai Siumoy yang ia tahu persis hari ini, Rabu, sebagai hari Siumoy mencuci pakaiannya. Tetap saja, lontong lebih memiliki kekuatan sihir untuk mempengaruhi pikiran Srondol. Nah, makanan kesukaannya itu sekarang bikin ulah yang mungkin juga benar karena ada peran serta malaikat tanpa diketahui Srondol. Perutnya tiba-tiba terasa mules. Keningnya mengernyit. Di lobang satu-satunya di sisi belakang, terasa ada sesuatu seperti menyundul-nyundul pintunya. Saat sedang bangkit dari sujud, tanpa sengaja ujung kain sarung yang dikenakannya terinjak tumit. Dasar Srondol yang suka tidak hati-hati dengan kain sarung sehingga dengan sedikit terinjak seperti itu sudah membuat kain tersebut lepas, jatuh. Sampai-sampai, Pak Solihin bapak si Robin, suami ibu Titin, menantu Haji Saifuddin tanpa sengaja terkekeh sendiri melihat Srondol kelabakan. Panik. Malu. Creetttttttt! Dalam kepanikan oleh kain sarung yang jatuh tersebut. Terasa sesuatu yang hangat mengucur. Untuk lebih memastikan. Srondol segera keluar dari barisan jamaah shalat. Mencoba sentuhkan tangannya ke belakang sambil bersandar sedikit ke salah dinding mushalla itu. Hidungnya yang tersumbat membuatnya terhalang untuk bisa deteksi aroma cairan hangat yang disentuhnya itu. Srondol temukan ide brillian. Yap. Cairan yang gagal dideteksi aromanya itu disentuh dan diremas-remas lagi oleh Srondol untuk lebih kuat membekas di tangannya. Dalam analisa Srondol, cara ini akan membuatnya lebih mudah untuk tahu pasti aromanya seperti apa. Ah, tidak tercium juga. Srondol teringat komik Conan the Barbarian. Ketegasan dalam hal sekecil apapun adalah hal penting untuk memperjelas sesuatu. "Baiklah!" Ujar Srondol bicara dengan dirinya sendiri. Tangannya itu yang sudah penuh dengan 'sesuatu' yang ia sentuh dari sisi belakangnya, diusap-usap [caption id="attachment_156058" align="alignleft" width="300" caption="Saat sedang kumat usil Srondol (Gbr: M. Sampe Edward/ Serambi Indonesia)"][/caption] kemukanya sendiri serupa orang yang baru selesai berdoa. Terbukti, cara itu lebih membuat Srondol yakin. "Kurang asam! Padahal asam cuka bisa dibeli di mana-mana. Warung Bu Minah ada, Bu Wati juga ada. Tetap juga masih ada yang kurang asam! Masa ada yang mengelap kotoran dengan celanaku. Untung tadi aku kentut maka aku bisa tahu ada kotoran di celana ini. Grrrrr!" Wajah Srondol tiba-tiba saja berubah menyeramkan. Jika tadi mirip penceramah kondang favoritnya. Sekarang ia berubah bentuk tidak terlalu jauh beda dengan sosok Kolor Ijo, jin satu keturunan dengan Buto Ijo yang gagal menangkap gadis idamannya. Dalam pikirannya terbayang-bayang wajah Suheng. Sambil berjalan pulang sekalipun jamaah shalat belum bubar karena ia juga sudah tidak bisa teruskan shalat dengan najis yang terkena di pakaiannya. Srondol merutuk, memaki, mengumpat. "Asam! Asam!" Makinya. Menyebut demikian karena memang yang baru diciumnya tadi tanpa sengaja menyentuh bibir dan dicecapnya secara tidak sengaja, terasa asam. Kedua telinga Srondol mengeluarkan asap. Mengepul. Akibat kemarahan yang membara. Kan bara itu suka membuat adanya asap mengepul. Begitu juga dialami Srondol. Sepanjang jalan berkisar 300 meter dari mushalla ke rumahnya ia berjalan dengan gagah penuh amarah. Kedua tangan mengepal dan asap dari kedua telinga tetap mengepul. Mata merah menyala-nyala. Giginya berubah runcing. Oh, tidak, itu sekedar gambaran kemarahan Srondol karena sebenarnya telinganya masih seperti biasa, agak lebih besar dari ukuran normal dan sedikit ada kotoran telinga karena jarang dibersihkan. Sedang giginya juga masih seperti biasa, penuh lobang di kiri dan kanannya. Tiba depan rumah, ia nyaris lupa dengan misi pertama yang tidak kalah penting dari misi penaklukan luar angkasa yang digagas NASA. Melangkah lagi melewati rumah Siumoy. Tak dipedulikannya sang Cinderella yang siang malam ia puja lengkap dengan kemenyan. Padahal gadis itu sedang duduk persis di pintu depan sambil cari kutu dengan sisir bambu. Sekarang Srondol berada persis di depan rumah Suheng. "Suhengggggggggggggggggggggggggggggggg!!! Keluar kauuuuuuuuuuuuu!!!!!" "Henggggggggggggggggggggggg!!! Asam kau sudah bikin aku mencium aroma asam!!!" "Hengggggggggggggg! Asammmmmmmmmmmmmmmmmmmmm." "Bujang lapukkk, keluarrrrrrrrrrrrr! Cepatttttttt! Kuhajar kau!" -----------------
Apa yang selanjutnya terjadi? Apakah kesalahpahaman itu akan berakhir dengan perkelahian seperti Bang Pitung dan Ki Demang? Atau seperti Bush dengan Bus? Tunggu saja kelanjutannya.
KEMBALI KE ARTIKEL