Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Ureueng Aceh Merekam Hasan Tiro

3 Juni 2010   17:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:46 1862 0
[caption id="attachment_157776" align="alignleft" width="300" caption="Dia telah pergi setelah meninggalkan pelajaran tentang harga diri (Gbr: Kompas.com)"][/caption] Di sebuah gunung pedalaman Aceh, sebuah bendera dinaikkan. Deklarasi dilafalkan, pernyataan terbentuknya Aceh sebagai sebuah negara tercatat sebagai bagian sejarah yang kemudian menjadi darah. Lantas, terjalin damai yang dicapai dengan jalan yang tidak mudah. Sejarah itu mencatat seorang lelaki yang menjadi bagian think tank di organisasi DI/TII di bawah Daud Beureueh, Muhammad Hasan di Tiro. Berbagai buku referensi mencatat lelaki ini  sebagai bagian intelektual Indonesia yang mencoba tawarkan langkah ideal agar negeri ini terhindar dari pertikaian dan konflik yang tidak berguna. Pusat yang notabene berada di Jakarta ditawarkan berbagai langkah untuk bisa menjadi sebuah negara yang benar-benar ada untuk rakyat yang konsisten berjalan dalam konsep keadilan seperti yang diatur dalam Pancasila. Tetapi secara beruntun Indonesia dirasakannya kian membuat ia kecewa dengan berbagai kebijakan yang dalam bahasa di Tiro disebut terlalu jawasentris. Pun, menurut Hasan Tiro ketika Hindia Belanda berubah menjadi Indonesia, Aceh tidak secara otomatis menjadi wilayah yang diserahkan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS adalah negara-negara federasi yang dibentuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus. J. Van Mook yaitu wilayah-wilayah yang telah takluk kepada Pemerintah Belanda, dan wilayah Aceh ketika itu tidak bisa dikuasai Belanda. RIS terbentuk hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yaitu Republik Indonesia, Bijeekomst Voor Federaal Overleg (BFO) dan Belanda yang disaksikan oleh United Nations Commission For Indonesia (UNCI). Aceh tidak pernah disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara RIS (Republik Indonesia Serikat) 14 Desember 1949. Dalam pasal 2 Undang-undang Dasar RIS tidak menyebutkan Aceh sebagai bagian dari RIS ataupun negara bagian Indonesia. Menurut pasal 65 UUD RIS, suatu wilayah dianggap sebagai bagian daripada suatu negara mesti ada kontrak antara keduanya. Aceh tidak pernah ada kontrak yang sah dengan negara bagian Indonesia. Berbeda dengan Kesultanan Yogjakarta dan Paku Alam. Pecahan kerajaan Jawa Mataram itu, pada tanggal 19 Agustus 1945 yang mengadakan sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ketika itu bernama Yogjakarta Kooti Kokootai. Di situlah diputuskan bahwa wilayah Yokjakarta dan Paku Alam sebagai bagian daripada Negara Indonesia. Bagaimanapun pada 27 Desember 1949, pihak Belanda yang tidak pernah menaklukan Aceh telah menandatangani “satu perjanjian” yaitu memberi hak kepada Indonesia untuk menguasai Aceh dan wilayah-wilayah lain di luar pulau Jawa. Menurut pemikiran politik Teungku Hasan Tiro, perjanjian antara Belanda dan Jawa inilah yang menjadi alat pemindahan kekuasaan Belanda kepada RIS, dan yang menjadi sumber kekuasaan RIS terhadap Aceh. Menurut hukum internasional pemindahan kekuasaan itu tidak sah karena Belanda sebagai penjajah tidak mempunyai apa-apa hak legal atas tanah-tanah yang dirampas, maka Indonesia pun tidak punya hak legal atas tanah Aceh. Karena Aceh secara sejarah tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Hindia Belanda sehingga Aceh sampai kini masih berdaulat. Seperti dicatat Dr. Phil. H. Munawar A. Jalil dalam tulisannya: Kenapa Hasan Tiro Berontak. Dalam catatan Munawar A. Jalil, alasan Hasan Tiro memilih angkat senjata juga disebabkan oleh 2 alasan lainnya, seperti yang diterangkannya berikut (ibid):

alasan yang didasarkan kepada konvensi PBB. Artikel 1, bagian 2 dan 55, Piagam Hak Bangsa-bangsa (Universal Declaration of The Rights of The People), pasal 5,6 dan 11, Piagam Hak-hak Asasi manusia, Piagam Hak Ekonomi, Kemasyarakatan dan Kebudayaan (International Covenant of Economic, Social and Cultural Rights), dan menurut Piagam Hak Umum dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), disebutkan “semua bangsa di dunia mempunyai hak menentukan nasib diri sendiri dan hak kemerdekaan” Menurut Hasan Tiro pula, Aceh beradasarkan resolusi PBB No: 1514 - XV yang dihasilkan pada 14 Desember 1960 mengenai: “Declaration of the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples”.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun