Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Lelaki dan Hati Sisa Makanan Anjing

10 Oktober 2010   16:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:32 173 0
[caption id="attachment_285347" align="alignleft" width="300" caption="Anjing tidak membawa takdir nabi atau malaikat. Cuma, dalam kebodohannya, anjing kerap berkeingiinan untuk menjadi Tuhan (Gbr: Googleimages)"][/caption] Sekerat hatinya pernah dimakan anjing. Lalu, ia memilih berjalan membawa hati yang tak layak lagi disebut sebagai hati yang utuh. Pikirannya sedang tidak pikirkan apa-apa selain pergulatan, apakah ia sekarang membawa hatinya sendiri atau memang itu sebenarnya benar-benar makanan anjing. Sisa anjing. Rambutnya sedikit mirip dengan aroma selokan yang kerap menampung aliran air kencing dari kamar mandi di rumah yang ditumpanginya. Hidungnya berongga lebar. Sedikit berlebihan karena setiap ia bercermin, entah kenapa ia merasa selalu melihat lobang hidungnya lebih besar dari mukanya. Sedang hidungnya dirasakan sendiri olehnya lebih tinggi dari kemampuan otaknya. Ia tidak percaya diri menyebut hidungnya bangir, mancung atau apapun yang sejenis dengan penyebutan itu. Mulutnya pun, terkadang ia rasakan memiliki aroma tidak lebih enak dihirup daripada septic tank yang tidak pernah dikuras selama sepuluh tahun. Kadang-kadang, ia memaksa diri untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya. Meski saat ia melihat mata orang-orang ketika melihatnya, sinar cahayanya benar-benar mirip saat mereka melihat anjing kurap yang lewat. Dari sana, ia kerap menyisihkan dirinya. Memaksa diri menumbuhkan kepercayaan diri dengan mengatakan pada diri sendiri, otaknya yang tidak lebih panjang dari hidungnya itu sebagai sebuah keunikan. Lobang hidung yang lebih besar dari mukanya ia paksa-paksakan untuk ia yakini sendiri sebagai sebuah bentuk seni dari Tuhan. Dan bau mulut yang beradu sengat dengan septic tank itu coba diyakini sebagai sebuah aroma yang sangat layak disebut kelebihan. Tanpa alasan. Tetapi, kepercayaan diri yang dipaksakan ternyata memang tidak berarti apa-apa. Terbukti, dadanya terlihat semakin turun. Pundaknya semakin terlihat lebih tinggi. Sangat tidak proporsional. Seperti ada beban yang terlalu berat untuk ia pikul. Beban yang terkadang ia coba ceritakan pada orang-orang. Sayangnya, orang-orang yang ia temui tak bisa didikte untuk melihat juga bahwa itu benar-benar cerita nyata. Justru, entah mungkin mereka lebih jernih dalam melihat, maka ceritanya lebih terlihat sebagai keluhan. Semakin sempurnalah perasaan terhinanya sebagai seekor anjing. Tuhan aneh, tadi hanya hatinya yang dimakan anjing. Pada waktu yang tidak terlalu lama, malah ia sendiri yang menjadi anjing.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun