[caption id="attachment_254683" align="alignleft" width="300" caption="Berpura-pura membela al Quran tidak pernah lebih baik dari membacanya walaupun mungkin kertasnya nanti hancur tetapi mungkin ada satu dua ayat yang masih tersimpan di hati (Gbr: Googleimage)"][/caption]
Sebenarnya saya tidak terbiasa menulis dengan judul sepanjang 1 kilometer seperti ini (anggap saya salah ukur: kebetulan sebelum saya pangkas, judul tulisan ini memang sangat panjang). Hanya saja, karena memang ukuran 1 kilometer masih lebih dekat daripada isu pembakaran al Quran yang dicetuskan Terry Jones, salah satu pendeta di Amerika sana yang justru sudah merambah lintas benua. Yap, sebenarnya masyarakat Muslim yang mencintai a Quran memang sangat berterima kasih pada Terry Jones. Di sini, saya malah berharap satu waktu nanti figur agamawan ini bisa membaca tulisan saya ini. Sedang soal bahasa yang berbeda, karena saya menulis di internet jadinya tentu harapan saya ini tidak menyulitkannya. Dan ini tentu saja karena sekarang Google sudah cukup ramah memanjaka penggunanya sampai menyediakan fitur penerjemahan, meski tidak paripurna tapi setidaknya inti dari tulisan ini bisa dimengerti oleh agamawan tersebut. Tapi saya hanya ingin menjelaskan perihal itu lewat sebuah cerita yang saya lupa pernah saya baca dari mana. Tetapi ini memang memiliki kemiripan dengan kasus rencana Mr Terry (Terry kalau di Indonesia untuk dimakan dan merupakan jenis makanan berupa ikan kecil yang dikenal luas oleh masyarakat). Iya cerita yang saya maksud adalah tentang sebuah masalah yang ada di sebuah kampung. Kampung ini memiliki sebuah mesjid yang selalu saja lengang. Hanya ada beberapa warga, itu pun selalu orang yang sama yang ke mesjid ini. Jamaah mesjid ini hanya orang-orang tua saja, cuma beberapa orang dengan anak muda yang cuma ada satu saja, tidak lebih (kalau saya lebih-lebihkan resiko saya tanggung sendiri, lho?). Nah, di kampung itu seharusnya memang semua warganya adalah Muslim dan soal shalat jamaah adalah mendekati wajib. Dalam arti, secara hukum Islam, jika bukan karena halangan tertentu yang tidak bisa dielak, tidak ada kilah yang bisa membenarkan seorang Muslim untuk tidak shalat di Mesjid. Mereka yang beberapa orang yang memang lebih mengerti Islam daripada kebanyakan warga kampung lain memahami keharusan itu. Tentunya, kerisauan itu muncul di hati dan benak mereka. Apalagi, bagi seorang Muslim itu sesuatu yang seharusnya dan tidak seharusnya menjadi sebuah kewajiban yang mutlak harus disampaikan. Makanya,dalam bahasa canda santri ada sentilan semisal,"Mau masuk sorga kok sendiri-sendiri?"Sebagai isyarat bahwa perintah agama tidak cukup diketahui dan ditelan sendiri, melainkan harus ditransfer ke orang yang belum tahu (walaupun terkadang pekerjaan ini tidak lebih disenangi orang daripada ditransfer uang sekian rupiah, misalnya), lepas seperti apa nantinya respon dari orang yang diberitahukan, setidaknya tanggung jawab pribadi untuk menyampaikan sudah dilakukan. Demikian juga dengan beberapa jamaah mesjid yang setia itu. Bahkan acara semisal makan bareng di mesjid juga dilakukan, tetapi justru mesjid itu membludak ketika masakan sudah tersaji. Begitu acara makan memakan selesai dan azan berkumandang justru lagi dan lagi yang tinggal tetap saja jamaah yang hanya ada beberapa orang yang sama juga lagi. Sampai satu ketika,"Kita bakar saja mesjid ini!" demikian tegas pemuda yang menjadi bagian dari jamaah mesjid tersebut, dan pilihan itu juga dibenarkan oleh jamaah lainnya karena mereka yakin ada maksud baik dari hal yang baru ditegaskan anak muda ini. Apa yang kemudian terjadi, masyarakat banyak protes. Ada yang menuduh anak muda ini gila. Pikirannya sudah bengkok. Intinya, meski warga kampung itu jarang ke mesjid tetapi mereka tidak rela mesjid itu dibakar. Sampai kemudian mereka beramai-ramai mendatangi mesjid saat waktu shalat tiba karena mereka berpikir cuma waktu shalat saja jamaah tadi itu bisa ditemui. Bentrokan yang tidak perlu hampir saja terjadi karena warga datang dengan emosi yang membuncah dan dada dipenuhi semangat ingin menjadi pahlawan. Apalagi mereka merasa sedang melakukan pembelaan terhadap agama. Lengkap dengan ucapan,"Kalian yang sering ke mesjid malah ingin membakar mesjid, kemana otak kalian??? Kami...walaupun tidak pernah ke mesjid tetapi tidak pernah berniat untuk membakar mesjid!" Begitu teriak mereka secara berapi-api. "Tidak!" Sergah anak muda yang menjadi bagian dari jamaah,"Mesjid ini harus dibakar karena sudah tidak ada lagi yang mau datang. Tidak ada lagi yang shalat di sini!" Sangat berapi-api juga jawaban dari pemuda tersebut. Jamaah lain yang beberapa juga merupakan kepala desa dan aparatnya juga membenarkan. "Iya, mesjid ini mau dibakar. Dan ini keputusan aparat desa." Karena yang berbicara adalah kepala desa yang tak lain merupakan figur yang sangat disegani warga, mereka hanya tercenung. Sampai salah satu dari mereka teriak,"Tidak, kami tidak rela mesjid ini dibakar. Kami rela menebus dengan apa saja asal mesjid ini jangan dibakar!" dan ini diiyakan oleh warga lain. Dengan sepotong senyum di bibir kepala desa ini,"Baik, niat kami untuk membakar mesjid ini bisa diurungkan. Tetapi itu juga hanya dengan satu syarat...!" "Iya, apa syaratnya, Pak.Katakan, insya Allah kami penuhi. Betul, saudara-saudara?"yang kemudian juga diiyakan warga lain. "Baik, mesjid ini tidak jadi dibakar hanya jika semua warga selalu datang ke mesjid setiap waktu shalat tiba. Setuju? Kalau tidak setuju terpaksa mesjid ini kami bakar. Kelak di akhirat biar saja kita sama-sama dibakar Tuhan! Bagaimana?" langsung saja warga yang memang sudah lebih dulu berjanji akhirnya sepakat untuk tidak pernah absen ke mesjid setiap waktu shalat tiba. Mesjid yang awalnya lengang saja dan hanya diisi beberapa jamaah saat waktu shalat tiba kemudian menjadi ramai. Di setiap azan berkumandang, warga sudah ke mesjid sebagai tebusan agar mesjid itu tidak dibakar. Kembali ke Mr Terry. Saya sendiri tidak melihat gertakannya sebagai ancaman yang harus terlalu di blow up. Siapa tahu dalam lubuk hatinya, ia hanya ingin tunjukkan kepeduliannya pada masyarakat Muslim agar mereka kembali akrab dengan al Quran yang mengajarkan konsep-konsep universal Islam? Atau, mungkin itu sebagai cara Terry untuk setiap Muslim berpegang kembali pada kitab sucinya karena memang sejarah juga membuktikan
,"Masyarakat Islam menjadi masyarakat yang disegani dan bisa sejahtera dan maju dulu karena memang masyarakat jaman itu demikian teguh berpegang pada al Quran. Dan hari ini, masyarakat Muslim identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan dan tidak pernah dianggap justru karena sudah begitu jauh meninggalkan al Quran."
KEMBALI KE ARTIKEL