[caption id="attachment_113070" align="alignleft" width="240" caption="Dalam gelap, yang menjijikkan akan terlihat berwarna sama dengan yang bersih. Maka yang bersih juga menjadi tidak memiliki arti, karena dikira sama saja dengan jamban yang dengan betah diduduki (Zulfikar Akbar)"][/caption]
Jika para sufi mengagumi hati sebagai samudera tak bertepi. Sebenarnya sufi itupun adalah pecinta yang tahu setiap nada yang muncul di hati, dipetik oleh cinta serupa irama kecapi di sisi bukit penuh bunga. Tak ada mata lagi yang bisa terbuka ketika getarnya membahana sedemikian kuat. Tak ada telinga lagi yang bisa mendengar ketika gemanya sedemikian penuh utuh merasuk melewati angkuh tubuh. Syahdan, Gautama pun mengakui tak ada suara yang lebih indah selain suara seseorang yang dicintai. Iya, cinta ada pada lantunan ayat-ayat dari kitab suci yang berbicara tentang Tuhan yang selalu melihat. Cinta ada pada lonceng dan nyanyi gereja, di Vihara. Tetapi, betapa menyedihkan mereka yang masih bangga hanya dengan keberadaan logika saja. Sehingga abjad yang membentuk kata cinta saja sudah tidak bisa terbaca. Padahal, mereka, pada pemuja Tuhan itu sama sekali bukanlah orang-orang yang buta hati. Cuma matanya saja yang menyipit agar tidak terlalu banyak anasir cahaya lain yang menusuk bola matanya, tetapi hatinya tetap terbuka lebar. Mereka merasakan semua yang tak bisa dirasakan pemuja logika yang tak pernah bisa membuka pintu di dinding ego dan ketuhanan.
KEMBALI KE ARTIKEL