[caption id="attachment_99992" align="alignleft" width="238" caption="Silahkan buang anginĀ dengan santun dan berwibawa, jangan merusak lingkungan dengan Co2 (Gbr: Google)"][/caption]
Jadi teringat pengalaman dengan motor butut yang pernah dipinjamkan kantor saat masih bergiat di beberapa lembaga swasta di Aceh. Saat harus turun ke lapangan, baik untuk riset, assesment atau apapun namanya. Seringkali saya harus sendiri saja menelusuri jalan dari kota kabupaten sampai pelosok desa. Tentu desa yang di maksud tidak seperti di desa seputaran Jakarta, sampai lorong-lorong kecil juga teraspal baik. Yang ini jelas desa yang sebenar-benar desa. jalanan saja lebih banyak berbahan alami begitu saja, maksud saya kerikil minus aspal. Untuk bisa sampai di desa-desa itu, berbagai resiko jelas ada. Bisa berupa binatang buas berupa macan dan gajah plus babi hutan (menyebut ini karena memang 3 jenis binatang ini yang paling rawan di pedesaan Aceh). Macan memang jarang mengganggu jika pengendara motor lewat, tapi melihat mereka [caption id="attachment_99999" align="alignright" width="181" caption="Kesempatan untuk narsis selalu terbuka lebar sekalipun sedang berada di sisi sungai yang berisi buaya yang baru menelan seorang anak penduduk. Lokasi Kruang Woyla, Aceh Barat-2007 (Gbr: Zulfikar Akbar)"][/caption] melenggang santai di pinggir jalan lumayan membuat bulu kuduk meremang persis melihat kuntilanak. Sedangkan gajah, banyak kasus binatang ini dengan sukses bisa menghentikan pengendara motor. Entah maksudnya untuk bermain-main, terkadang motor juga jadi sasaran injakan dia. Barangkali ia ingin unjuk kekuatan seperti Limbad yang mentalist sering muncul di TV itu. Apakah gajah di sana hanya mengusili motor saja? [caption id="attachment_99996" align="alignleft" width="141" caption="Resiko yang sangat mungkin, dengan mudah akan ditemui di jalan-jalan desa di Aceh (Gbr: Google)"][/caption] Oow, tunggu dulu. Tidak sedikit kasus tercatat dan diekspose di media massa di Aceh semisal Serambi Indonesia dan Harian Aceh. Kasus itu adalah tentang orang-orang yang kebetulan nahas, sehingga badan dan tempurung kepala mereka remuk, otak muncrat diinjak hewan yang di Aceh akrab disebut penduduk dengan gelar Teungku Rayeuek itu--gelar Teungku lazimnya untuk orang-orang terhormat dan berpendidikan agama mumpuni, tetapi karena masyarakat di sana cenderung 'menghormati' hewan ini. Maka gelar itu juga diberikan padanya--.
KEMBALI KE ARTIKEL