[caption id="attachment_188105" align="alignleft" width="300" caption="Kebenaran hanya bisa didengar oleh telinga yang sudah bersih dari kotoran (Gbr: Google Images)"][/caption]
Ah. sepertinya kita lebih banyak dusta daripada jujur. Mengaku bisa segalanya, dan tidak butuh siapa-siapa, tapi diam-diam memaki-Nya. Inilah kepercayaan yang telah dengan sadar kita bungkus dengan kain yang dirajut dari benang-benang kemunafikan. Bukan kita. Baiklah. Karena menyebut kita sama maknanya dengan kusamakan kemunafikanku dengan Anda, sedang Anda mungkin sebenarnya jauh lebih bersih dari saya. Iya, saya. Menapak jalan dengan kaki yang diberikan Tuhan, tetapi belum pernah ada bunga yang tumbuh mekar dengan air yang kusiram dengan sepenuh cinta. Menyentuh sekian banyak ciptaan Tuhan, namun nyaris belum pernah membuat sesuatu, melakukan sesuatu yang membuat Ia tersenyum. Melihat sekian banyak keindahan yang juga diciptakan-Nya, namun lebih sering berpaling dari-Nya. Betapa rendahnya diri ini, seonggok daging yang terus tumbuh tetapi dengan cinta pada-Nya yang lebih sering menurun dari berat badanku. Kemunafikan lain, berharap bisa selalu dekat dengan yang Maha Bersih, namun terus saja tidak lelah bermain lumpur kotor, membaluri seluruh jengkal tubuh yang sudah tidak terpedulikan lagi aromanya, karena hidung sudah penuh debu kemunafikan itu juga lagi. Ah, kebenaran apa yang bisa dikatakan oleh mulut yang lebih banyak memakan kotoran. Tidak, Anda mungkin memang tidak sepertiku, beruntunglah engkau, sahabat. Ketidakberuntungan hanya jika tadi engkau melupakan beberapa dosa dan kekeraskepalaan yang sudah kau lupakan. Dan jangan pusingkan dosamu, bila dosaku lebih menarik perhatian untuk kau tatap. Tetapi pilihan begitu hanya membuatmu mungkin esok pagi akan lebih memiliki tabungan aroma busuk, dengan sekian catatan yang membuat kau dikutuk. Tidak, ah aku malah juga lebih teringat pada dosa yang kau lakukan, daripada yang kulakukan sendiri. Seharusnya dari tadi tidak kucari-cari kesalahanmu, tetapi lebih membuka mata pada kesalahan sendiri. Apalagi, sering diperdengarkan mereka yang lebih bersih bahwa kelak saat menghadap Tuhan untuk membawa dan membaca sekian juta lembar pertanggungjawaban, kita datang sendiri-sendiri. Tanpa arak-arakan. Harusnya memang mataku lebih tertuju pada kesalahanku sendiri, dan lebih baik hanya melihat padamu dengan tujukan kebaikan yang pernah kau pertontonkan padaku.
KEMBALI KE ARTIKEL