[caption id="attachment_52971" align="alignleft" width="245" caption="belaian tangan ditubuhmu hanyalah dari pundak-pundak yang tak bertulang, kekasihku (Gbr: aceh-institute.org)"][/caption]
Saya tidak akan berbicara tentang observasi untuk melihat persoalan adat dan tradisi di Aceh. Karena mempertimbangkan bahwa dari kecil sudah berada di sana, lahir, besar dan mungkin mati di Tanoeh Aceh. Sering saya merasa kelu, tidak habis pikir dan juga ingin untuk berceramah. Tentang masalah adat di depan warung-warung kopi. Tetapi tentu pilihan itu hanya membuat orang-orang menduga saya telah kerasukan dengan sesuatu. Baiklah, hari ini nyaris tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Aceh. Kalau saya seorang bule, saya akan teriak dengan sinis, nothing...!!! Kenapa itu terjadi, sedang saya masih menggelantungkan berjuta harap di tanoeh itu? Iya karena memang entah tersengaja atau tidak, telah terjadi pembiaran terhadap penggerusan itu. Geram itu kian bertambah, saat kemarin membaca di koran:
Polisi Syariat memperkosa Tahanan. Memang itu ada kaitan dengan adat? Satu sisi tidak, tetap di sisi lain sangat menjelaskan sebuah karakter baru yang entah datang dari mana. Iya karakter adat yang begitu tidak bermata lagi. Jika saja adat masih seperti dahulu yang betul-betul menyatu dengan agamanya sebagai induk, kejadian itu tidak perlu terjadi dan mencoreng harga diri
ureueng Aceh. Kejadian itu menjelaskan tentang ketergerusan adat yang sudah sangat parah. Dulu adat dijadikan perisai untuk masyarakat tidak terjebak dengan tindak yang mencoreng harga diri. Nah yang sekarang baru saja terjadi, adat semakin dikangkangi. Syariat yang semestinya bersebadan dengan adat justru hari ini entah tidak disadari telah ikut terkangkangi. Pikiranku ikut dipenuhi api kemarahan, kata di lembar koran berkelebat di otak, tahanan diperkosa polisi syariat. Ini satu potret kecil, adat yang tergerus
KEMBALI KE ARTIKEL