Berkisar 15 tahun saya belajar di lembaga pendidikan Islam. Dari ibtidaiyah hingga berenang di lautan kampus di IAIN Ar Raniry-banda Aceh. Kendati saya tidak mengambil Fakultas Syariah sebagai pilihan, namun hasrat untuk mengenal semua "pori-pori" Islam terus mengepung. Saya sering berdialog tentang Islam dengan rekan-rekan. Tidak saja yang sesama Muslim, tetapi juga bahkan yang non-Muslim juga acap saya jadikan partner untuk membicarakan Islam. Ini tidak bermakna sebagai kebanggan subjektif kepada agama yang memang saya anut dari sejak saya sadar sebagai manusia. Tetapi, karena saya suka menggeluti Islam dari perspektif sejarah---disini silahkan kernyitkan dahi, kok bicarakan Syariah malah bicarakan sejarah?---. Iya, dari displin ilmu Islam yang berkaitan dengan muamalah, nyaris dihampir seluruh belahan dunia, teori-teori perbankan cukup lama terbengkalai. Hanya menjadi bahan diskusi. Menjadi bahan obrolan untuk mengangkat pamor "pembicara" sebagai orang-orang yang sangat paham dengan pengetahuan Islam, tapi nihil disisi implementasi. Begitu, saya tidak akan membahas persoalan itu dengan gaya seorang pakar historis. Namun, lebih tertarik untuk melihat itu sebagai ujud 'kedongkolan' yang puluhan tahun bercokol di pikiran saya. Kenapa baru sekarang persoalan Bank Syariah lebih diseriusi? Kenapa malah dulu justru pilihan yang berhubungan dengan masalah perbankan itu seperti tidak menggugah selera untuk diimplementasikan, khususnya di Indonesia. Tapi, ini tidak bermakna saya ingin memarahi kondisi tersebut. Hanya saja, kendati sah-sah saja untuk menjadikan persoalan "lebih menguntungkan" sebagai alasan untuk lebih mengseriusi persoalan Bank Syariah. Namun, lebih ideal jika alasan untuk pengimplementasian itu mendapatkan alasan yang lebih meng-global. Intinya Bank Syariah tidak lagi harus ter-eksklusifkan sebagai Bank Islam, namun ia juga bisa memberi out put lebih bahkan kepada yang non-Muslim. Maka dari sini, jika memang kita sama setuju menyebut Bank Syariah sebagai Bank Islam, maka tanggalkan itu dulu dengan menunjukkan lebih konkret bahwa perbankan yang berlandas kepada syariah tidak mengharamkan memberi keuntungan kepada nasabah
atawa siapa saja yang memiliki ketertarikan kepada lembaga perbankan tersebut. Sebagai nasabah di salah satu Bank Syariah---tepatnya Bank Syariah Mandiri---, di Meulaboh, saya terharu dengan beberapa nasabah disana yang non Muslim, dengan tanpa beban, tidak merasa sebagai "turis" di Bank Syariah yang sering disebut sebagai hanya "miliknya" orang-orang Islam, membawa berkantong-kantong rupiah untuk ditabung disana. Karena mereka percaya dengan kelebihan institusi perbankan syariah. Apakah kedepan kondisi ini bisa tetap terjaga. Terjebolnya ekslusifitas Bank Syariah sehingga juga bisa diakses oleh yang non-Muslim menjadi penting dalam hubungan dengan hal ini. Ini kembali kepada pengelola lembaga perbankan di Indonesia, bagaimana menciptakan dengan lebih tegas bahwa Bank Syariah sama sekali jauh dari ekslusifitas. Membuktikan bahwa Bank Syariah 'bukan' Bank Islam. Ini penting untuk dikampanyekan secara gencar, ketika kita memang mendambakan rahmat dari keberadaan Bank Syariah bisa lebih universal dan meng-global. Sehingga memberi efek positif juga terhadap Islam sendiri yang selama ini sering hanya direkatkan dengan fundamentalisme picik. Wallaahu a'lam
KEMBALI KE ARTIKEL