Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

“Hantu” yang Ditakuti Eropa di Brasil

2 Juli 2014   07:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:52 454 0
HAL paling menarik di Piala Dunia tahun ini adalah fenomena terjungkalnya wakil Eropa satu demi satu. Dalam kelakar, kerap muncul celetukan yang saya dengar, “Dulu, Eropa terkenal sebagai kawasan negara-negara penjajah. Sekarang, apakah mereka bisa melanjutkan ‘penjajahan’ di ranah sepak bola di benua Amerika?”

Ya, tanda tanya itu hanyalah kelakar. Tapi, sedikitnya mewakili kondisi faktual bahwa hanya lima wakil Eropa yang lolos dari fase grup. Belanda, Prancis, Jerman, Belgia, dan Swiss tak salah disebut sebagai “sisa-sisa pembantaian”. Mereka dikeroyok oleh tim-tim dari benua Amerika dan Afrika.

Spanyol dan beberapa wakil Eropa lainnya hanya bisa melihat sisa pertandingan dengan perasaan kacau. Bagaimana tidak, dengan segala persiapan yang jauh-jauh hari telah dilakukan, ternyata tak membuahkan hasil seperti diharapkan. Tentu saja menjadi pil pahit, tim-tim Eropa itu masuk ke dalam daftar “negara kalah perang”. Mereka harus pulang terlalu pagi.

Memang, penyebab tim-tim yang telah masuk kotak itu tak melulu soal kalah strategi. Sekalipun, tim seperti Spanyol, cenderung disorot karena terlalu mengagungkan tiki-taka, strategi yang dinilai usang dan sudah mampu dipatahkan lawan. Tapi ada faktor lain yang kerap dilihat sinis oleh mereka, dan itu adalah masalah iklim.

Ibarat perang, tim-tim dari ranah Amerika bermain layaknya berperang secara gerilya. Mereka menguasai medan, dan mereka sudah menyatu dengan keadaan alam. Sementara tim Eropa, ibarat para jenderal yang harus turun lapangan yang panas menyengat. Sebelumnya, “para jenderal” itu hanya membiasakan diri dengan ruangan ber-AC.

Taruhlah, secara strategi, planning, dan berbagai hal lainnya sudah dimatangkan di “ruang AC”. Tapi, ini adalah perang gerilya! Mereka memang membutuhkan strategi, tapi tak hanya yang berkaitan dengan seisi lapangan. Melainkan, terdapat sesuatu di luar lapangan yang bisa melemahkan mereka: iklim.

Hal itu terlihat dari situasi alam di sana. Tingkat curah hujan, di beberapa tempat di “Negeri Samba” berada di bawah 800 mm. Pada 1877 hingga 1878, di Brasil pernah mengalami situasi, yang oleh masyarakat setempat disebut dengan “Grande Seca” (kekeringan terparah). Keadaan itu berakibat kematian yang menelan korban mencapai 500 ribu jiwa.

Ya, katakanlah situasi saat ini tak separah itu. Tapi sedikitnya, hal itu sudah menggambarkan seperti apa mengerikan iklim kawasan yang bertetangga dengan Bolivia, Peru, Argentina, Paraguay, dan Uruguay itu. Secara sederhana, tak heran, negara-negara yang telah terbiasa dengan suhu seperti di Brasil saja yang lebih diuntungkan.

Meksiko, sejatinya bisa memetik keuntungan dari keadaan tersebut. Terbukti, mereka nyaris memetik keuntungan pada laga lawan Belanda. Sementara tim Eropa ini, terlihat terengah-engah saat pertandingan baru berjalan sekitar 30 menit. Gol Giovani dos Santos mengesahkan hal itu. Andai wasit tak terkecoh dagelan Arjen Robben, maka bukan tak mungkin, Meksiko akan menjadi tim lain dari daratan Amerika mengenyahkan wakil Eropa.

Maka, jika menyebut pertarungan di Brasil sebagai “perang gerilya”, maka secara teori yang dibutuhkan adalah anti-gerilya. Untuk ini, langkah-langkah yang harus diambil wakil-wakil Eropa, tentu saja, memastikan kesiapan pasukan menghadapi tim dengan medan di Brasil. Tapi, bukankah tim-tim seperti Spanyol, Inggris, Italia, Portugal, dan lain-lain sudah mempersiapkan itu?

Harus diakui, iya. Negara-negara itu jauh-jauh hari sudah mengincar lokasi, untuk tempat mereka melakukan pemusatan latihan sebelum Piala Dunia, hingga base camp selama di Brasil. Tapi, kondisi lokasi-lokasi itu, bisa dikatakan tak mewakili kondisi sebenarnya di negara itu. Walaupun dari sisi kriteria ditetapkan oleh mereka, mendekati kondisi tersebut.

Tidak itu saja, protes atas keputusan FIFA terhadap jadwal pertandingan pun sempat muncul menjelang turnamen akbar itu. Hanya, FIFA bergeming, dan mereka dengan yakin memastikan, tak ada keputusan mereka yang salah. Protes-protes yang sempat digemakan oleh pelatih seperti Cesare Prandelli dari Italia, ibarat membentur tembok angkuh: bergema, namun tak didengar siapa-siapa.

Maka akhirnya, negara-negara Eropa itu melangkah ke medan tempur dengan pasukan terbatas. Mereka tak bisa lagi menolak apa-apa yang telah “disabdakan” oleh FIFA. Didahului dengan berbagai persiapan, memastikan segala sesuatu telah benar-benar siap, dan mereka bertarung.

Apa yang terjadi? Lagi-lagi, satu per satu tim-tim tersebut dirontokkan. Sesama Eropa, hanya Belanda dan Prancis yang mengawali turnamen itu dengan leluasa. Mereka bahkan memanen gol layaknya tim-tim yang tak terusik bertarung di medan yang asing dengan fisik mereka. Tapi di laga teranyar, “De Oranje” terlihat terengah-engah karena keadaan iklim itu. Bukan tak mungkin, itu menjadi awal, seluruh tim Eropa akan terjungkal dari turnamen itu.

Kembali lagi, ini bukan sekadar perang antara satu strategi dengan strategi lain di lapangan. Tapi, bagaimana strategi yang berkait dengan sesuatu yang berada di luar lapangan. Jika hal ini benar-benar terjawab, mungkin saja masih ada tim Eropa yang akan tetap melaju hingga final. Jika tidak? Sayonara! (@ZOELFICK | Also Published in: TopSkor)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun