"...Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya, Untuk Indonesia Raya..." -- Wage Rudolf Soepratman --
"Tujuan mempelajari sejarah bukanlah untuk mencemooh tindakan manusia, atau untuk menangisi atau membencinya, tetapi untuk memahaminya. Dan semoga kemudian belajar darinya saat kita merenungkan masa depan kita." -- Nelson Rolihlahla Mandela, Mantan Presiden Afrika Selatan, Pejuang Anti Appartheid dan Penerima Nobel Perdamaian 1993.--
Dua kutipan itu menjadi sangat penting untuk mencoba memahami jalan sunyi Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat terpilih, dalam menapaki proses panjang perjuangannya untuk terus memulyakan nilai-nilai kemanusiaan, keteguhannya untuk tidak tercerabut dari akar kulturalnya dan konsistensi untuk terus berjuang memenuhi panggilan sejarahnya dalam mengabdi pada bangsanya, pada tanah airnya, pada Ibu Pertiwi yang sangat dicintainya. Itu semua merupakan bagian dari spirit ideologis yang terus diperjuangkannya melalui jalan politik.
Keterpilihannya menjadi Gubernur Jawa Barat melalui proses pemilihan pada 27 November 2024 lalu, merupakan ladang pengabdian untuk terus mengejawantahkan nilai-nilai yang tak pernah lekang diperjuangkannya.
Hal lain yang sangat menarik untuk dipahami adalah dalam menjalankan spirit kepemimpinannya sebagai manifestasi untuk terus mengabdi pada bangsanya, Dedi Mulyadi yang akrab dipanggil Kang Dedi, mengambil spirit Padjajaran dan nilai-nilai budaya Sunda sebagai basis model kepemimpinannya.
Panggilan Sejarah
Spirit nilai-nilai yang berkembang di era Kerajaan Padjajaran menjadi salah satu basis strategis Kang Dedi dalam mentransformasikan kepemimpinannya di era saat ini. Spirit Padjaran itu sekalgus menjadi manifestasi Kang Dedi untuk memenuhi panggilan sejarahnya sebagai Gubernur Jawa Barat.
Pada masanya, Kerajaan Padjajaran merupakan salah satu kerajaan terbesar dan berpengaruh di nusantara. Wilayah kekuasannya saat ini meliputi Jawa Barat, Jakarta, Banten dan sebagian Jawa Tengah bagian barat. Pusat pemerintahannya dipercaya berada di Pakuan, atau hari ini kita mengenal  dengan nama Bogor. Kejayaan, kemakmuran dan peradaban tinggi diwilayah tersebut lahir selama Kerajaan Padjajaran berdiri.
Kerajaan Padjadjaran mencapai masa emas kejayaan semasa Prabu Siliwangi dengan gelar Sri Baduga Maharaja antara tahun 1482 hingga 1521 Masehi.
Di masa pemerintahan Prabu Siliwangi inilah perekonomian Padjajaran di tanah Sunda berkembang pesat, yang sekaligus menjadikan Padjajaran sebagai salah satu kerajaan terkuat di nusantara.
Nilai-nilai tradisi budaya juga berkembang menjadi landasan Padjajaran dalam membangun peradabannya. Nila-nilai itu sangat penting dalam membangun karakter manusianya. Padjajaran juga menempatkan konservasi lingkungan sebagai hal yang sangat startegis dalam proses pembangunan peradabannya.
Potensi sumber daya alam (SDA) berhasil dikembangkan dengan didukung Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas sehingga kemakmuran dan kesejahteraan bisa diwujudkan di Kerajaan Padjajaran.
Pembangunan Wilayah
Kerajaan Padjajaran merupakan kerajaan di nusantara yang sangat berhasil membangun pertaniannya untuk mewujudkan kemakmuran rakyatnya. Dengan pertanian di era itu termasuk yang terbaik di nusantara, Kerajaan Padjajaran mampu memperkuat ekonominya sehingga dapat memakmurkan rakyatnya. Pertanian juga sekaligus menjadi mata pencaharian utama masyarakatnya. Padi menjadi komoditi utama masyarakat.
Warisan pertanian masyarakat Padjajaran itu masih bisa dilihat dan pelajari di kampung-kampung adat seperti Baduy di Banten yang memiliki cadangan beras sampai dengan ratusan tahun kedepan. Inilah salah satu bukti tingginya peradaban Kerajaan Padjajaran yang diwariskan sampai saat ini.
Warisan besar lainnya adalah kemampuan Padjajaran dalam mempermudah akses perdagangan. Kerajaan Padjajaran memiliki enam pelabuan di wilayahnya. Pelabuan tersebut yakni. Banten, Pontang, Cigede, Tanggara, Kalapa, Cimanuk. Pelabuhan-pelabuhan tersebut sebagai jantung ekonomi kerajaan dan sarana transaksi perdagangan.
Kegemilangan Kerajaan Padjajaran tidak lepas dari peran dari para pemimpin diwilayahnya yang terdesantralisasi antara pemimpin kultural di daerah dan pemimpin yang ada di pusat pemerintahan.
Para pemimpin kultural di setiap wilayah Kerajaan Padjajaran berperan penting memainkan peran tersebut, pengelolaan potensi saling berkesinambungan dan saling melengkapi.
Sebagai contoh, kultur dan mata pencarian masyarakat di wilayah pesisir tentu berbeda dengan masyarakat yang tinggal diwilayah pegunungan, perbedaan itu bukan jurang pemisah, tapi merupakan sebuah satu kesatuan geografis yang saling berkaitan erat untuk saling melengkapi. Semua aspek kehidupan pada masa itu berhasil di bangun.
Bercermin dari kegemilangan para pemimpin di daerah dan di pusat pada masa tersebut, spirit dan energi kejayaan Kerajaan Padjajaran itu harus bisa diwujudkan lagi untuk membangun peradaban Jawa Barat yang muaranya pada kejayaan peradaban Nusantara, kejayaan Indonesia Raya.