Saya sangat dekat dengan Sutan Takdir Alisjahbana, terutama dalam hal-hal berdiskusi soal filsafat. Ia manusia yang sangat gemar berbicara. Pertemuan saya terakhir seputar tahun 1993, ketika saya hendak pulang ke Jakarta dari Bali. Pesawat Garuda Denpasar-Jakarta diundur keberangkatannya selama 4 jam. Ketika saya memasuki ruang tunggu, saya tak sengaja melihat STA, saya coba menghindar dengan jalan menyelinap. Tapi, rupanya beliau melihat saya. "Is, sini"! (ia selalu memanggil saya dengan Is, bukan Es). Akhirnya tertangkaplah saya, dan harus dalam posisi diam selama 4 jam, mendengarkan STA berceritera. Yang akhir pembicaraan saat itu, STA hendak menyerahkan Toya Bungkah agar saya yang mengelola. Tapi saat itu saya belum mengiyakan.
Setiap perjumpaan dengan STA, saya selalu tidak mampu memotong pembicaraan. Ia berceritera tentang berbagai hal, terutama gagasannya tentang Indonesia masa depan. Ia memberikan saya nama manusia batu, karena kuat mendengarkan ceritanya yang selalu lama, tanpa saya menyela.
Beberapa tahun lalu, seorang perempuan yang cantik mendatangi saya. Meminta saya menghidupkan kembali pemikiran STA, yang oleh Romo Franz Magnis-Suseno disebutnya sebagai "Kebangsawanan Filsafat". Terus terang permintaan itu menghantui saya sampai sekarang, bukan karena yang memohon kepada saya seorang Mahasiswi Ayu Ting Ting yang sedang menempuh S1 untuk sarjana filsafat, dimana dulu saya sering menemaninya nonton wayang di Pasar Seni Ancol.
Saya coba membongkar perpustakaan. Saya membaca semua narasi besar STA. Kesimpulan saya sementara, ini sebuah terobosan pemikiran yang sarat perjuangn tanpa lelah. Salah satu ungkapannya yang sangat dramatis, selalu membuat saya oleng: "Despite the tremendous progress of our sciences, technology, and economic achievements, we are facing the greatest problematic of our total human terrestrial existence. Never has man been so powerful at the same time so endangered".
Saya sangat mengagumi "kejatmikaaan intelektualnya", yang kadang membuat lawan pemikirannya kebakaran jenggot. Pandangannya tentang interes ternyata masih sangat relevan untuk hari ini, yang, maknanya kita tidak pernah maju, malahan semakin mundur. Dalam perspektif  Takdir, kebenaan adalah tujuan tunggal, karenanya, filsafat, memiliki keluasan wawasan menyeluruh yang bisa mengantar manusia ke suatu tanggung-jawab dan solidaritas yang merangkul semua. Visinya yang agung, menolak segala bentuk parokialisme dan primordialisme. Romo Magnis menggambarkannya: "dengan geram, STA menulis bahwa: "kita masih berpikir tentang national interest, religious interest, ideological interest. Padahal sekarang ini, human interest mesti di atas".
Yang mengejutkan bagi saya, dalam salah satu pertemuan pribadi di Unas, dimana setiap pembicaraan ia akan mengulang tentang makna bangunan mesjid, ia dengan penuh kelakar mengatakan bahwa polemik kebudayaannya di media dengan para koleganya (dia tidak pernah menyebut sebagai lawan), adalah sebuah strategi untuk menarik keluar pemikiran-pemikiran yang berseberangan dengan pemikirannya. "Itu penting, untuk menguji apakah pemikiran saya ini cukup relevan untuk mendasari sebuah humanitas yang total.
Tahun 1945, STA pernah dijebloskan ke penjara di Tanah Abang bersama kira-kira 10 tahanan yang penuh borok. Dalam waktu 3 hari badannya penuh nanah yang melengketkan bajunya tentu saja. Dipannya penuh kutu busuk, dan dari dinding-dinding yang retak, bermunculan binatang. "kalau saya meletakkan badan, binatang-binatang itu terus menyerbu. Sikap saya lain. Saya harus menciptakan kerja. Dalam hati saya ada dasar pendirian, malah dapat saya katakan filsafat saya. Kita tidak bisa menderita kalau kita tidak mau menderita. Semua ini tergantung kepada saya, mau jadi neraka atau mau jadi surga. Sel saya mau saya jadikan surga bagi saya. Pekerjaan saya ada dua, berpikir dan mendidik orang yang di sel ini."
Frasa ini selalu mengingatkan saya dan itu menjadi candu buat saya yang mencambuk saya untuk menghidupkan kembali pemikiran STA, melalui taktik bergelap-gelap dalam terang - berterang-terang dalam gelap.