“Teng… teng… teng…!” Tepat pukul 12 malam. Inilah waktu untuk beraksi. Kedua tangan telah kuletakkan di atas kertas putih bersih. Dengan lincah, mulai melenggak-lenggokan mengikuti irama pena yang dituntun oleh tongkat suara hati. Merangkai huruf demi huruf menjadi sebuah surat cinta,cerpen, esai, atau barangkali hanya sebuah tulisan yang tak ketemu judulnya. Itulah pekerjaanku setiap malam. Toh sekalipun penilaiaan orang lain atas hal ini hanya dipandang sebelah mata; tak ada gunanya sama sekali. Namun aku benar-benar menemukan kata “puas dan puas”.
Sebetulnya, itu masih belum sepenuhnya bisa dikategorikan puas, tanpa disertai reaksi yang kedua. Yaitu membungkus semua surat atau tulisan yang kuperoleh semalam, lantas kulepas ke alam liar. Melewati pelantara sebuah prangko, aku kirimkan ke alamat serampangan, atau melalui sebuah kotak yang telah kuhiasi, aku lemparkan begitu saja ke alur sungai.
“Ya… hanya itu yang akan buat aku sangat puas!” bisik sanubariku.
“Kring… kring… kring…!” Bel rumah berbunyi. Kusambut dengan langkah cepat. Kuhamapiri dia. Ya, tunggu! Siapa? Sembari tetap melangkah.
“Brengsek… si misterius itu lagi? Siapa dia sebetulnya?”. Tepat daun pintu aku buka, tak ada seorang pun yang bisa aku dapati. Bahkan tak ada bekas alas kakinya.
Yang kudapati hanya sebuah surat yang terkapar di atas tanah. Namun apa sama dengan surat yang telah kuterima sebelumnya? Aku tak tahu.
“Halo sayang… Gimana kabarnya pagi ini?” Tanya sebuah surat yang ajaib itu.”
“Alah kamu lagi. kamu lagi…! Siapa sih yang telah mengirim kamu ke sini?”
“Busyet!” Kertas itu tak menjawab pertanyaanku. Dia hanya bisa berkata apa yang telah di tulis di atas punggungnya.
“Aneh… di setiap kertas yang kini sudah kali ketiga, alamatnya sama. Terukir alamat; Jalan Kembang Hijau No. 93. Aku sangat bahagia. Aku merasa, sepertinya pemilik surat ini begitu tulus menulis surat ini hanya untukku. Ini, bagiku, adalah sebuah misteri yang harus aku pecahkan.” gumam hatiku, tanpa menghiraukan ocehan kertas itu yang terus mengoceh.
“Ah… siapa sebetulnya gerangan yang selalu mengirimiku surat. Apa dia termasuk salah satu orang yang pernah menerima suratku?” Sembari aku melangkah kembali ke dalam rumah.
“Kring… kring… kring…!” Bel itu berbunyi lagi.
“Pasti dia lagi…?” gumamku sembari aku lari dengan cepat.mendekati daun pintu.
“Ah, goblok. Gagal lagi, gagal lagi” Yang bisa kulihat hanya sebuah kertas yang perlahan jatuh bak layang-layang. Aku buka segera dengan perlahan-lahan.
“Sayang… Aku akan selalu menunggumu. Aku akan selalu setia setiap saat hanya padamu semata.” celoteh kertas itu tanpa henti.
“Brengsek… brengsek…!” Aku marah-marah sendiri. Namun aneh, hatiku sangat bahagia. Entah kenapa hatiku ini. Aku tak bisa memahami apa yang tengah aku rasakan.
Keesokan harinya, aku tak sabar menyelidiki siapa orang yang mengirim surat ini. Ku telusuri desa demi desa. Atau aku tanya pada setiap orang yang aku temui. Bertanya tentang alamat itu. Namun hasilnya nihil. Mereka semua hanya bisa menjawab “tidak tahu”. Hanya lelah, letih, dan payah yang kudapati.
“Oh… Ya.Hanya ada satu, yang harus kutanyai sekarang. Mungkin hanya dia yang tahu alamt ini!” Desas hatiku sembari bergegas ke tempatnya.
“Pak pos, apa kamu tahu alamat ini?”
“Tunggu sebentar!” pinta bapak pos itu. “Maaf, dalam database ini tak ada alamat yang Anda maksud.” jawabnya singkat.
Sampai jam 12 malam, seperti biasa, aku tetap menyelesaikan pekerjaanku. Dengan menggebu-gebu, hatiku mengajakku membalas surat itu lewat tinta darahku. Kuukir perlahan kata demi kata “Kasih, tunggu aku di kediamanmu sana. Akan kuhampiri engkau ke sana hanya sendiri”[]