Badan Bu Haji semakin melemah. Bukan hanya gara-gara ia terjatuh saat sedang di dapur. Akan tetapi, jauh lebih parah karena lukanya yang ngga juga mengering. Mukanya kelihatan semakin pucat, seakan nampak tiga puluh tahun lebih tua ketimbang usia yang sebenarnya. Sudah hampir 2 minggu ia memutuskan untuk ngga mandi. Sesekali saja ia cuci muka agar kelihatan lebih segar meskipun juga sebetulnya ngga sedikit pun kelihatan lebih segar. Wajahnya semakin layu. Matanya semakin sayup. Rambutnya yang ngga terurus itu ditutupnya dengan kerudung. Lukanya masih belum juga mengering, bahkan semakin meleleh dan melebar. Sebetulnya, beberapa hari sebelumnya, luka di kaki Bu Haji sempat dibaluti perban, namun kondisi ngga juga berubah. Akhirnya perban itu pun dilepas lagi. Lukanya dibiarkan terbuka. Bu Haji ngga pernah mau saat keluarganya punya uneg-uneg untuk memanggil dokter. “Aku baik-baik saja, hanya luka ringan,” ungkap Bu Haji saat ditawari jasa dokter.
Satu-dua hari semakin larut berlalu. Para tetangga yang peduli pada Bu Haji, yang ngga hanya nggosipin saja, pada datang menjenguk. Tiap kali berkunjung ke rumah Bu Haji, setiap tetangganya punya 2 pilihan tujuan. Pertama, dia memang benar-benar peduli dan ingin membantu mencarikan solusi terbaik. Kedua, hanya sekedar ingin tahu guna mengupdate gosip terbaru mengenai kondisi Bu Haji ke warga se-RW. Gosip yang santer beterbangan ke sana-kemari semakin lama semakin menunjukan tren negatif. Selama lebih dari 2 minggu, gosip tentang kondisi Bu Haji menjadi "top trending topic" bagi warga. Mulai dari tukang sayur dan ibu-ibu, petani, hingga para pengangguran RW. Semua hanya tentang Bu Haji. Bu Haji yang kondisinya semakin parah. Bu Haji yang ngga sembuh-sembuh.
Pak Haji, dibantu anak-anaknya, semakin rajin dan lebih sering mengurus luka Bu Haji yang terus mengeluarkan nanah dan bau yang ngga begitu sedap. Semua keluarga bergotong-royong mengurus Bu Haji. Ngga hanya itu saja. Mereka juga dengan sigap menggantikan tugasnya Bu Haji sebagai Ibu Rumah tangga. Mulai dari mencuci pakaian sendiri, membersihkan rumah, memasak dan lain sebagainya. Semua lengkap dibagi-bagi oleh Pak Haji kepada anak-anaknya. Pak haji benar-benar menjadi pemimpin perusahaan rumah tangga di keluarganya. Sedangkan anak-anaknya bertindak sebagai direktur bagian pelaksananya.
Saudara-saudara yang tinggal nan jauh jaraknya, mereka silih berganti pulang kampung untuk sekedar menyempatkan diri menjenguk Bu Haji. Banyak di antara mereka yang menyarankan agar Bu Haji segera dibawa ke rumah sakit agar bisa diperiksa lebih lanjut. Tapi sekali lagi Bu Haji selalu menolaknya. Badan Bu Haji semakin kurus. Mungkin hampir seluruh nutrisi yang dimakannya ikut meleleh bersama lukanya yang makin melebar. Mukanya lebih pucat lagi dari sebelumnya.
Hari sudah mulai petang. Ditambah lagi mendung yang turut menggelapkan suramnya hari itu. Sesekali motor lewat di depan rumah Pak Haji. Lampu-lampu tetangga sudah mulai dinyalakan satu persatu, meskipun ngga tau siapa yang lebih dulu. Yang aku tahu hanya semua lampu mereka telah menyala. Seperti biasa, seusainya mandi, aku bersiap untuk jalan ke mushola. Memang sejak kecil, aku sangat hobi mengumandangkan adzan. Entah hobi itu muncul sejak kapan, namun yang aku tahu memang aku suka dengan apa yang aku lakukan itu. Jamaah mushola mulai berdatangan. Ada yang dari rumah langsung memakai rukuh. Ada pula yang baru mengenakan rukuh sesampainya di mushola. Kami semua menunaikan rutinitas kami. Aku sebut rutinitas karena yang menjadi jamaah ya itu-itu saja. Ya…sekitar 9 sampai 13 orang saja. Entah yang lain pada ke mana, itu bukanlah urusanku. Sekitar 10 menit setelah adzan, Pak Haji baru masuk mushola. Beliau pimpin sendiri jamaah sholat magrib yang sudah menunggu agar sholatnya segera dimulai. Seingatku, setibanya direkaat kedua, saat sujud, terdengar teriakan dari anaknya Pak Haji, “Pak…Pak…Ibu Pak…!” Aku juga mendengarnya. Suasana sholat pun semakin histeris. Terasa Pak Haji segera mempercepat sholatnya. Aku rasa Pak haji juga mendengar suara yang memanggil-manggilnya itu. Hari semakin malam. Menjelang salam, anaknya kembali berteriak. Tetapi teriakannya kali itu agar sedikit diiringi tangis. Seusai salam, Pak Haji dengan cepat bangkit dan berlari. Semua terasa sangat gugup dan ngga karuan. Apa yang sebenarnya terjadi ketika itu? Nantikan kelanjutan kisahnya dipostingan kami berikutnya. Semoga berkah sehat selalu menjadi milik Anda. Amin