Jakarta masih ramai. Namun, sudah sedikit lebih gelap dari biasanya. Beberapa pedagang di pinggir jalan pun mulai mengemas barang dagangannya. Anak-anak jalanan mulai menggelar tikar di emperan jalan raya untuk mengistirahatkan badannya. Aku melangkahkan kakiku ke halte dipinggir jalan. Menunggu apakah masih ada bus yang lewat walau sudah larut begini. Jika tidak, berarti itu sebuah pertanda bahwa aku harus berjalan lagi atau naik taksi dengan pengukuran argometernya yang menguras seisi dompetku.
Aku sebenarnya tidak suka pulang. Aku tidak menyukai rumah, di mana Ayah hanya akan berteriak jika aku melakukan kesalahan kecil, lalu setelahnya aku akan merasakan gemetar seluruh tubuh dan tidak pernah bisa menjawabnya. Bodoh. Kemudian aku akan disudutkan, untuk sekian banyaknya kesialan yang kuperbuat. Ya, begitulah diriku. Ada beberapa hal sial sampai aku harus selalu disudutkan, dan ada beberapa hal menyenangkan yang kemudian akan dibesar-besarkan oleh ibu yang sebenarnya hal itu tidak perlu dilakukan. Membosankan.
"Mbak, mau kemana malam-malam begini? Mari saya antar. Tenang saja, sampai depan rumah, kok," ucap lelaki yang sepertinya lebih tua beberapa tahun dariku dengan motor tuanya, tak lupa ia juga mengedipkan matanya dengan genit.Â