Hidup di jaman seperti sekarang ini membuat orang hampir-hampir menjadi gila, edan dan sinting. Bagaimana tidak, lha wong hampir setiap hari di televisi, radio, juga surat kabar orang disuguhi berita-berita kriminalitas, dengan berbagai modus. Oalah, katanya berita buruk adalah berita bagus, dalam bahasa jawa,
Bad News kui ateges Good News. tidak hanya menyimak, bahkan kejahatan dan kriminalitas juga sering kita temui dan alami sendiri. Melihat serangkaian laku yang merugikan orang kita toh juga ndak bisa berbuat apa-apa, hanya
nebah dodo (mengelus dada) atau menggeleng kepala ditambah sedikit hembusan nafas yang menyesakkan dada. Rasanya hampir tidak ada tempat yang bisa membuat kita menjadi damai,
ndak menjadi cemas, apa lagi takut yang berlebihan. Rasanya juga
ndak mengherankan kalau orang lantas menyebut jaman ini dengan jaman edan. Jaman edan, jaman yang penuh dengan “kegilaan” dan ke-edanan berlebih orang terhadap sesuatu, terhadap harta, pangkat, nafsu atau wanita. entahlah apa lagi silahkan ditambahkan. Yang jelas sesuatu yang
keliwatan perlahan dapat menggeser " tahta" Tuhan dalam hidup orang. Jaman ediyaann, Jaman yang kisruh karena “kemarahan” hampir semua orang yang melihat dan merasakan tatanan yang selalu menekan diri. Wong cilik harus terus-menerus digusur dan bergelut dengan kelaparan.
Panjenangan yang kaya harta dengan nikmatnya bermandikan uang dari jarahan atau hasil hutang yang memberikan kehangatan, cumbuan yang kemudian berubah menjadi himpitan, hingga bernafas pun menjadi tersengal. Jaman edan, jaman yang juga ditandai dengan berbagai penyimpangan yang sangat
mbulet bin kompleks. Penyimpangan yang acap kali berkutat dan bersumber dari tiga hal besar yang berpengaruh besar dalam hidup orang. Dia lah
Artati alias uang;
Nistana yang berarti kemelaratan, dan selanjutnya adalah
Jutya atau kriminalitas. Sudah bukan rahasia lagi, uang, si mamon yang satu ini telah menjadi benda yang paling diminati. benda yang bertambah nilai, tak sekedar dipandang dalam fungsi tapi juga bernilai ekonomi dan bergengsi, karena itu wajib dicari. Materi yang dulunya dipakai sebagai alat mempermudah sistem barter ini kemudian berubah wujud menjadi sesuatu yang semakin diminati, dan perlahan-lahan beralih fungsi dari sekadar alat (objek) menjadi “dewa” (subyek) yang dapat mengatur seluruh kehidupan masyarakat. Tak heran jika si mamon ini kemudian dapat menggeser tahta Tuhan dalam hidup. Berbincang soal
Nistana atau kemelaratan tidak saja berarti kemelaratan materi, tapi kemelaratan dalam arti yang lebih luas lagi, mulai dari segi etika, moral, sampai bidang spiritual. Nilai-nilai moral dalam hidup dibuat kacau. Topeng-topeng kebaikan, yang biasa dipakai dalam panggung drama, kini laris dipesan oleh banyak orang demi menutupi moralnya yang tak terpuji. Tak heran kemudian
Jutya, kriminalitas di mana-mana. Merampok, membunuh, menipu, korupsi, pun merajalela. Lantas adakah tempat di dunia ini yang membuat orang menjadi teduh, damai, dan sejahtera, terlepas dari ketakutan terhadap kemelaratan, kriminalitas atau justru sindrom utang? Adakah tempat yang memberi kebebasan bagi umat beragama untuk menyembah Tuhan dan aman mengekspresikan imannya? Huuh..! hanya lenguhan dan gumam tak pasti, “entah….” Haruskah kedamaian menjadi barang langka di dunia ini? Benarkah tak ada lagi harapan tersisa yang bisa dinikmati? Sepertinya masih ada harapan yang tersedia dalam balutan iman yang dapat dicip dan rasai. Harapan itulah yang niscaya dapat menjadi sandaran,mendorong, menguatkan, dan menciptakan optimisme diri kembali lagi. Tapi seandainya ndak ada
yo ndak apa-apa, toh katanya masih ada dunia lain yang kemungkinan damai masih bisa dinikmati. Itu pun kalau benar ada, kalau ndak ada sekali lagi, ya sudah
pasrah bongkoan (Pasrah sepenuhnya). Slawi/dbs
KEMBALI KE ARTIKEL