Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Perempuan yang Kembali Dalam Peti Mati

30 Juli 2013   10:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:50 367 2
Ketika menginjakkan kaki ke Terminal Keberangkatan IV dan sibuk melambai kepada para pengantarnya, perempuan itu tidak pernah tahu bahwa ia akan pulang dalam peti mati.

Bagi perempuan itu, Maria, bandara tidak pernah membuatnya senang. Bukan karena tempatnya yang terlalu ramai, penuh orang berlalu-lalang, tapi karena bandara selalu mengingatkannya akan kepergian. Setiap orang, dalam hidupnya yang singkat, barangkali pernah sekali saja meninggalkan seseorang dan tak kembali. Bandara mengingatkan Maria kepada rasa sakit akibat ditinggalkan, akibat meninggalkan. Kepada orang-orang yang tak tahu jalan pulang, termasuk dirinya.

Namun hidup yang terjal dan rasa sakit adalah hal yang harus dihadapi oleh semua orang. Maka dengan menahan air mata sekuat tenaga, ia berlutut di hadapan putrinya dan menggenggam tangan gadis kecil berusia sembilan tahun itu dengan erat.

"Bunda pergi, Sayang. Kamu di sini bersama Nenek. Bunda akan segera kembali, Bunda janji," mata Maria menghunjam manik mata putrinya, ada bulir yang perlahan menunggu pecah.

Putrinya menggeleng-gelengkan kepala. "Bunda jangan pergi, Bunda di sini aja."

Di palung hati Maria yang sayat, kata-kata putrinya adalah pisau. Sedetik, ia ingin mengurungkan kepergiannya, di detik lain ia bergulat dengan tekad yang bulat; mencari penghidupan. Sayangnya, ia tak bisa menjelaskan dengan gamblang perihal-perihal rasa sakit yang membuat ia pergi. 'Kerja di luar negeri untuk biaya hidup kita'  adalah kalimat paling sederhana yang bisa ia hantarkan.

"Tahun depan Bunda pulang," Maria memaksakan selarik senyum dengan susah payah.

"Bunda jangan pergi," wajah matahari putri Maria seketika disapu mendung dengan hujan yang berlarian dari mata-mata kecilnya.

Hati Maria kembali sayat. Andai putrinya tahu, bahwa ibunya tak memiliki banyak pilihan. Ada hidup yang harus terus dijalankan. Maria bisa saja memilih untuk tinggal, bertarung dengan luka-lukanya hingga karam. Tapi ia tak ingin berakhir di penjara atau rumah sakit jiwa. Ada hal-hal yang tak sanggup ia hadapi. Ada hal-hal yang tak sanggup ia jalani.

"Masalah pribadiku bukan urusanmu, aku akan menikah dengan perempuan lain. Kita sudah berpisah, bukan? Aku sudah menceraikanmu secara agama, jadi kita bukan siapa-siapa lagi. Urus urusanmu sendiri."

Kalimat itu terngiang bagai gaung dari negeri yang jauh. Kalimat yang berasal dari laki-laki yang menjadi pusat semestanya, laki-laki yang menikahinya hanya karena ia janda beranak satu tanpa satu pun tempat pulang. Lelaki yang ia cintai setengah mampus tapi tak pernah mencintainya.

"Tapi aku sedang hamil, Kang," kalimat lain keluar dari mulut Maria.

"Aku tidak percaya kalau itu anakku. Kalau sudah lahir, test DNA saja. Perlu kamu tahu, kehamilan kamu tidak mengubah apa-apa. Kita tetap berpisah."

Badai paling badai. Maria limbung, segala macam dalam hidupnya berubah menjadi rentetan mendung. Ia kerap menghibur diri bahwa Tuhan tak akan mengambil sesuatu tanpa menggantinya dengan yang lain. Maka keberadaan anak yang tengah meringkuk di rahimnya menjadi penghiburan paling terang. Meski lelaki itu tak pernah ada saat dia menginginkan apa-apa, saat dia terhuyung-huyung ke kamar mandi menahan muntah, saat dia harus menjelaskan kepada orang-orang mengapa ia sendirian, saat dia menangis seperti orang gila di depan toko sepatu bayi.

Bagi Maria, keinginan Tuhan adalah misteri ganjil yang tak bisa ia pecahkan. Entah apa alasannya, anak yang tengah ia kandung pun diambil kembali dengan cara paling menyakitkan. Maria ingin sekali menyalahkan Tuhan atas kemalangan yang menimpa hidupnya, tapi ia bisa apa kecuali bertahan? Maka ia pergi, sebab ada sakit yang harus ia sembuhkan.

"Bunda jangan pergi," isak.

Ingatan Maria kembali ke terminal keberangkatan, kepada tangan putri yang tengah ia genggam. Perlahan, amat perlahan, jemarinya mengusap bulir-bulir yang berlarian dari mata gadis kecilnya. Bulir-bulir yang di jemarinya menjadi api paling membakar.

"Jangan menangis, Sayang. Bunda akan cepat kembali."

Dilarungkannya sebuah pelukan; hangat dan erat. Ditahannya dengan sekuat tenaga hujan yang akan curah dari matanya. Sekali itu saja, ia tak ingin menangis. Sekali itu saja, ia ingin melakukan kepergian dengan gegap.

Setelah pelukan, bibir Maria melarungkan ciuman. Pada kening, pada pipi kanan, pada pipi kiri, pada pucuk kepala putrinya. Ia menghirup bau kehidupan yang akan menjadi bekal kerinduannya kelak. Kemudian, dengan hati yang masih sayat, ia melepaskan segala macam jangkar.

Tubuh yang berpelukan erat terlepas.

Tangan yang bergenggaman erat terlepas.

Manik mata yang bertautan erat terlepas.

Maria melangkah, tergesa. Ada pesawat yang harus ia kejar. Ada rasa sakit yang harus ia tahankan. Sepersekian detik ia menoleh, menyaksikan wajah putrinya berurai air mata. Ia melambai, menyunggingkan selarik senyum penuh jutaan kemungkinan. Lalu ia pergi, tanpa menoleh lagi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun