Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Suami Saya Penjahat Keparat

6 Maret 2012   19:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:25 433 1


Skylashtar Maryam

Saya bukan orang jahat.  Meski banyak orang jahat yang berusaha menjahati saya.  Namun, itu bukan berarti saya berubah menjadi orang jahat dan balas menjahati mereka yang telah berbuat jahat kepada saya.

Sekali lagi, saya bukan orang jahat.

Kalaupun mulut saya berbusa basi  menyebut mereka orang jahat, tetap saja, saya bukan penjahat, apalagi berubah jadi orang jahat.

Ketika laki-laki itu menjahati saya pun, saya tidak lantas menjadi penjahat dan sama-sama menjahatinya.  Mungkin saya sedang menunggu untuk menjadi jahat, tapi saya bukan penjahat karena menunggu itu bukan perbuatan jahat.

Ya, walaupun laki-laki itu berkali-kali menggagahi saya dalam persenggamaan yang liar kemudian membuat saya tenggelam dalam lebam, saya tak berani merubah diri saya sendiri menjadi orang jahat lantas membalas lebam dengan lebam.  Meski lebam dibalas dendam.   Tapi saya bukan orang jahat karena menyimpan dendam.

Saya memang menginginkannya mati dengan cara paling mengenaskan karena keberadaanya sebagai orang jahat telah membuat saya sekarat dan tertekan.  Karena dia telah menyumbat mulut saya dengan kain lap setiap kali saya mengaduh dalam tangis.  Atau jika tidak ada kain lap, dia akan mengusir saya keluar rumah, ke tengah gerimis.

Apa saya jahat jika berdoa dalam diam dan meminta kepada Tuhan supaya dia tidak bahagia?

Sebab satu-satunya jalan saya untuk bahagia telah dia kebiri dengan berapi-api.  Tiga tahun pernikahan bagaikan permainan dengan dia sebagai majikan dan saya sebagai kuli buli.             Dia menjadikan cinta sebagai kambing hitam untuk mewujudkan kebahagiannya sendiri.  Cintanya sendiri.  Walaupun untuk itu, kebahagiaan saya ditumbalkan dan nyaris mati.

Apa saya jahat karena menganggap dia jahat?

Jika saya ini orang jahat, tentu saya tidak akan diam saja ketika satu persatu piring dan gelas di dapur  berderak pecah ke muka saya.  Jika saya ini orang jahat, tentu saya tidak akan diam saja ketika pisau-pisau tajam itu mencacah dada saya.  Jika saya ini orang jahat, tentu saya tidak akan diam saja tatkala dijejali sampah serapah.  Jika saya ini orang jahat, tentu saya tidak akan diam saja waktu lima liter minyak tanah tumpah ke badan saya dan ditodong api tepat di pinggiran pipi.  Bahkan untuk alasan yang sampai sekarang tidak saya ketahui.

Saya belum menjadi orang jahat.

Karena saya tetap menyebutnya sebagai lelaki dan suami hebat di depan semua orang.  Sebab saya tetap mencium tangannya di depan semua orang.  Saya tetap menggenggam tangannya ketika berjalan di depan semua orang.  Saya tetap memujinya di depan semua orang.

Tapi saya ingin jadi orang jahat.

Saya tidak ingin lagi diam ketika dia memaksa saya mengangkang dan mengerang di pingggiran ranjang.  Saya tidak ingin lagi diam ketika dia memaksa saya menari berahi sampai tiba waktu pagi.  Saya tidak ingin lagi diam ketika dia memaksa saya merintih meski selangkangan saya letih dan perih.

Dan saya pun jadi orang jahat.

Saya balas melemparkan piring-piring dan gelas-gelas itu.  Ke mukanya, ke dadanya, ke kepalanya, ke mulutnya.  Saya balas menghunus pisau, yang lebih tajam, lebih kejam.  Saya balas menyiraminya dengan serapah yang lebih sampah.  Saya tidak lagi menangis, malah membuat dia menangis.

Sekarang saya jadi orang jahat.

Saya segera menolak mengangkang, mengerang, merintih dan menimbun perih.  Saya menolak menari sampai pagi.  Saya menolak diperbudak berahi.  Saya menolak disentuh dan menyentuhnya lagi.  Karena saya sudah jadi orang jahat yang tak punya hati.  Karena hati saya sudah mati.

Sekarang saya bahagia.

Meski kebahagiaan saya tidak terasa penting dibandingkan merampas kebahagiaannya.  Saya bahagia jika dia tidak merasa bahagia.

Saya masih bahagia.

Karena dia tidak bahagia.

Dia tidak bahagia.

Karena saya bahagia.

Saya semakin menjadi orang jahat, bisa disebut penjahat.

Saya jahat karena dia jahat.  Saya jahat karena meniru dia yang menurut saya penjahat.  Saya pun semakin jahat ketika dia mengatai saya jahat.

Sebagai penjahat, saya tidur dengan siapa saja yang saya suka.  Membuat kelelakiaannya terluka.  Untuk menggenapi kepenjahatan saya, saya mengangkang di depan laki-laki mana saja.  Membuat dia semakin bermuram durja.  Saya mengerang, dia meregang.  Saya merintih, dia meretih.  Saya semakin liar, dia semakin gusar.

Saya tidak lagi menjadi orang baik.

Setelah saya berubah jadi jahat, dia malah berniat menjadi orang baik.  Gantian, saya  perlakukan dia sebagai gundik.  Setiap pagi, saya beri dia sarapan berupa segelas geleguk amarah paling pelik.  Dia menerima tanpa banyak komentar lagi, karena kini dia jadi orang baik.

Sebagai orang yang tidak lagi baik, saya menyebut dia sebagai suami tak tahu diri di depan semua orang.  Saya mencerca dia di hadapan semua orang.  Saya mencaci maki dia di gedung pengadilan, di depan orang tuanya, di depan saudara-saudaranya, di depan teman-temannya.  Saya tahu dia terluka, tapi dulu juga saya pernah memamah luka yang sama.

Saya semakin menikmati menjadi penjahat, orang yang jahat.

Sekarang, setelah saya berubah menjadi penjahat, dia berhenti menjahati saya.  Giliran saya yang menjahati dia.  Giliran dia yang berdoa kepada Tuhan untuk kematian saya.  Atas penderitaan dia.  Atas kejahatan saya.

Karena katanya saya jahat, maka dia sebagai orang baik berhak untuk memperlakukan saya sebagai penjahat.  Setelah dia tidak tahan dengan kejahatan saya, maka dia melaporkan kejahatan saya itu kepada Tuhan, kepada setiap orang, kepada seluruh dunia yang bersedia mendengar.   Katanya, saya pantas dibakar di kerak neraka sebagai pendosa.  Karena dia orang baik maka dia akan masuk surga.

Karena dia orang baik dan saya orang jahat, maka saya tidak pantas mendampinginya lagi dalam sumpah setia pasangan.  Saya tahu dia semakin tak tahan memiliki istri seperti setan.  Katanya, hukuman paling pantas yang saya terima adalah perpisahan.  Karena dia orang baik, sedangkan saya perempuan jahat serupa serigala jadi-jadian.

Tapi saya memang jahat.  Saya pantas menerima hadiah berupa perpisahan yang saya idamkan sejak dua bulan pernikahan.  Kalaulah saya tahu hadiah itu akan menunggu di depan pintu, tentu saya akan menjadi orang jahat sedari dulu.

Setelah berpisah pun, dia masih menuduh saya sebagai penjahat.

Dia jadi orang baik.

Orang baik yang tidak bahagia.

Sedangkan saya tetap menjadi orang jahat.

Penjahat yang bahagia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun