“Kau membenciku?” pertanyaan itu terlontar begitu saja, dua kata yang aku yakin akan mendulang sedikit jawaban, tapi akan berakar ke pertanyaan lain yang tak akan habis.
Ia menggeleng. Lebih buruk dari pradugaku ternyata.
“Kau mencintaiku?” ini pertanyaan kartu as, seharusnya dikeluarkan nanti sebagai jurus pamungkas.
Ia diam. Matanya terpejam sebentar. Mulutnya bergeletar. Tapi tak ada satu pun suara yang keluar.
Sial, sungguh sialan! Bahkan kartu as yang kulemparkan sebagai umpan tak ia makan. “Aku ingin kita putus,” kutusuk steak setengah matang di depanku dengan penuh dendam dan amarah yang mulai menjalar.
Ia terkesiap. Wajahnya mendongak dari memandangi sendok dan garpu yang ia pegang.
“Kamu dengar? Aku ingin kita putus!” desisku. Kumajukan tubuh, menghimpit meja, wajahku mendekat ke wajahnya.
Ia menggeleng, pelan sekali seoalah-olah kepalanya akan menggelinding ke lantai jika ia bergerak terlalu banyak.
Aku semakin kesal. Ingin kutancapkan garpu di tanganku ke matanya yang bagai pendar. Atau kurobek mulutnya agar tak hanya terbuka dan terkatup sedemikian rupa seakan mengejekku yang mulai tak sabar.
“Bisa nggak sih kamu ngomong? Bukannya diam saja dari tadi. Kamu mau aku gila?” suaraku naik satu oktaf.
“Maaf, Mbak. Ada yang ingin Mbak pesan lagi?” seorang pelayan dengan seragam batik berwarna merah bata tergopoh menghampiri meja.
Aku menoleh. Kesal. “Tidak, tidak ada. Bisa tinggalkan kami sekarang? Saya sedang membicarakan masalah penting dengan kekasih saya.”
Kening si pelayan berkerut. Mulutnya mengerucut. Ia berlalu tanpa berkata apa-apa, pasti hatinya kecut.
Kuteguk segelas air putih beroksigen, tandas satu gelas. “Kamu memang jahat, Malka. Kamu pergi tanpa pamit, tanpa satu pun kata perpisahan, dengan cara paling konyol pula.”
Dia memandangi steak di depannya, tak mengeluarkan suara sama sekali seakan-akan yang aku katakan adalah angin malam yang menusuk-nusuk di luar.
“Kamu tahu? Setelah kepergian kamu, aku harus menanggung malu sendirian. Perutku kian mengembung seperti orang sakit lambung. Aku berhenti kuliah, aku diusir dari rumah. Aku mencarimu kemana-mana karena anak kita butuh seorang ayah dan aku membutuhkanmu. Tapi kemana kamu? Di mana kamu?”
Matanya berkaca-kaca, tapi mulutnya tak bersuara.
“Kamu tidak peduli, bukan? Buktinya kamu tidak kembali. Aku menunggu kamu sampai capek. Waktu aku keguguran karena kecelakaan, waktu aku mengangkang dan berteriak di depan dokter kandungan dengan rasa sakit tak tertahankan, waktu aku ditikam luka akibat kehilangan, waktu aku tidak memiliki siapa-siapa sebagai pegangan. Di mana kamu? Aku tanya sekali lagi, di mana kamu?” tanganku menggebrak meja.
Beberapa orang menoleh, mencibir, aku tak peduli. Pelayan berseragam batik tadi kembali datang. “Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanyanya takut-takut.
“Kamu tidak lihat saya sedang berbicara dengan kekasih saya? Tolong jangan ganggu,” hardikku.
Si pelayan memandang kursi di depanku. Ia mengangkat bahu, kemudian berlalu.
Aku mendengus. “Kamu bodoh, Malka. Benar-benar laki-laki bodoh! “
Air mata di pipinya menggenang.
Kuletakkan garpu dan pisau karena tiba-tiba merasa sangat kenyang. “Sudah kubilang kan, jangan suka sok pahlawan deh. Coba kalau kamu ada, aku tak harus keguguran, aku tak harus menanggung malu karena hamil di luar nikah, aku tak harus berada di sini dan ngomong sama kamu dengan cara seperti ini,” kini aku ingin menangis, ada banyak beban yang ingin aku tumpahkan.
Dia menunduk. Tak berani menatap mataku yang berlinang amarah.
“Aku mencintaimu…. Aku ingin kamu tahu itu. Tapi aku tidak pernah habis pikir. Ternyata bagi kamu, cintaku saja tidak lah penting. Kamu merasa berkumpul dengan teman-temanmu yang brengsek itu adalah suatu panggilan jiwa, solidaritas. Solidaritas keparat! Teman-teman kamu juga keparat!” aku menggertakkan gigi.
Matanya menyapu pintu, seperti mencari sesuatu.
“Sudahlah… ini malam ulang tahunmu, kan? Maafkan aku, sebetulnya aku tidak ingin merusak suasana,” aku bersandar di kursi, menangkupkan tangan di dada.
Matanya kembali jelalatan ke arah pintu.
“Kamu harus pergi sekarang?” tanyaku pelan, mulai ketakutan.
Ia mengangguk. Mulutnya mengatup.
Kuulurkan tangan ke seberang meja, ingin meraih tangannya. Aku menyentuh udara. “Dengar…” suaraku melembut. “Aku sudah merelakan kamu pergi, hanya caranya yang kusesali. Bagaiman bisa kamu begitu bodoh. Bergabung dengan geng motor, terlibat perkelahian hanya karena hal konyol, dan mayatmu dibuang begitu saja ke dalam selokan kotor.”
Pipinya kembali berlinang air mata. Ia bangkit, tapi tak mengucapkan kata-kata untuk pamit.
“Malka…” seruku sebelum ia berjalan ke arah pintu yang akan memisahkan kami. “Tempat yang sama, waktu yang sama, tahun depan?”
Ia mengangguk. Ia mulai berjalan.
“Malka!” panggilku lagi.
Ia berhenti. Ia menoleh.
“Apa kamu mencintaiku?”
Ia diam sebentar. Ia tersenyum. Ia mengangguk.
Itu sudah cukup. Aku tersenyum. Kulambaikan tangan. Kami akan bertemu lagi di sini tahun depan.
Pelayan tadi datang karena melihatku mengacungkan tangan. “Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”
“Tolong bill-nya.”
Ia menyerahkan tagihan untuk dua piring medium steak dan dua gelas sparkling water dengan kening terheran-heran. “Kekasih Mbak belum datang, kan?” ia menunjuk kursi dan piring berisi steak utuh di depanku.
“Ia baru saja pulang,” kataku.
***
(Markas Empayer Renjer-Bandung, 19 Februari 2012)