Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Menunggu MK, Adil atau Memihak?

20 April 2024   19:17 Diperbarui: 20 April 2024   19:19 101 0
Mengakui dan menerima kenyataan bahwa dirinya bersalah. Menjadi penyebab masalah, lalu meminta maaf, adalah cermin manusia yang bertaqwa, bermartabat, dan berintegritas.(Supartono JW.20042024)

Kendati masing-masing pihak, sangat percaya diri dengan hasil kesimpulan sidang yang mereka buat dalam hal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ada juga pihak yang menjadi amicus curae, apakah pada Senin (22/4/2024) MK akan menjaga demokrasi yang bermartabat dengan keputusan MK yang juga bermartabat, sesuai hati nurani?

Secara hati nurani, rasa-rasanya, saya masih berpikir positif, bahwa MK akan tetap sulit memihak dan menjaga demokrasi yang bermartabat.

Terlebih, dalam petitum gugatannya, kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sama-sama meminta MK membatalkan hasil pilpres, mendiskualifikasi pasangan Prabowo-Gibran, serta mengadakan pemungutan suara ulang tanpa keikutsertaan Prabowo-Gibran.

Mengapa MK kemungkinan akan sulit mengabulkan petitum? Pasalnya, MK sendiri berada dalam "Masalah yang Dipermasalahkan".

Saya sangat sependapat dengan Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini yang memperkirakan MK tidak akan mendiskualifikasi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

Titi, mengungkapkan bahwa MK adalah pihak yang membuka pintu bagi Gibran untuk berlaga di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lewat Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 yang mengubah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.

"Kenapa tidak sampai pada diskualifikasi, ya problem-nya adalah MK kita ini problematik, karena dia menjadi bagian dari persoalan yang dipersoalkan, ya Putusan 90 begitu," kata Titi dalam acara diskusi Polemik Trijaya, Sabtu (20/4/2024) yang juga sudah dirilis berbagai media.

Titi menambahkan pandangannya, MK masih belum mau keluar dari zona pragmatis dengan tetap memberlakukan syarat calon presiden dan wakil presiden minimal usia 40 tahun dengan alternatif pernah dipilih atau sedang menjabat di jabatan yang dipilih melaui pemilu pada Pilpres 2024. Sepertinya delapan hakim tidak akan berubah pendirian.

Diskualifikasi bukan hal baru

Sejatinya,  mendiskualifikasi kandidat dalam pemilihan umum bukanlah hal baru di Indonesa. Dalam catatan sejarahnya, MK pernah mendiskualifikasi pasangan calon bupati dan wakil bupati Yalimo tahun 2020, Erdi Dabi dan John Will, karena tidak memenuhi persyaratan. Sebab,  calon ini terlibat kasus pidana dan meurpakan seorang terpidana yang belum memenuhi syarat. Sehingga diperintahkan untuk didiskualifikasi dan partai politik pengusul, mengusulkan calon pengganti.

Selanjutnya, MK juga menyediakan waktu untuk proses pendaftaran calon, verifikasi administrasi, dan faktual, serta kampanye sebelum dilakukan pemungutan suara ulang.

Dengan latar belakang yang memicu terjadinya perselisihan Pemilu Pilpres 2024, pun ada contoh MK pernah melakukan diskualifikasi kandidat dalam Pemilu, akankah MK rendah hati mengakui kesalahan, karena menjadi penyebab masalah sengketa Pemilu 2024. Lalu mengabulkan petitum pemohon?

Rasa-rasanya, bila hati nuraninya "bersih", mau mengakui kesalahan, maka dalam sidang pengucapan putusan sengketa hasil Pilpres 2024 pada Senin (22/4/2024), MK akan mengabulkan petitum.

Kita tunggu, apakah MK akan menjadi Mahkamah Konstitusi yang adil. Membela yang benar adalah benar. Yang salah adalah salah?

Petitum adalah bagian surat gugat yang dimohon untuk diputuskan atau diperintahkan oleh pengadilan.

Kita lihat, setelah putusan MK, 22 April 2024, Indonesia ke depan akan menjadi negeri seperti apa?




KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun