Di tempat saya tinggal, Temanggung yang dijuluki Kota Tembakau, para petani nya sedang berjuang mengembalikan kejayaan tanaman tersebut. Minimal bisa membuat para petani Temanggung yang menggantungkan hidupnya pada tembakau bisa hidup lebih baik. Tak perlu waswas dengan harga jual yang stagnan, pembatasan ataupun peraturan eksesif, atau hadangan anomali cuaca yang mempengaruhi produktivitas pertanian. Ironis sebenarnya mengingat Temanggung dijuluki (dan pada kenyataannya) memang memiliki kualitas terbaik seperti Srintil atau tembakauuntuk grade G yang harganya bisa sampai Rp 1 juta per kilonya. Sedangkan grade A sampai C paling sekitar Rp 40-90 ribu.
Jika memang Temanggung punya tembakau kualitas grade tinggi dengan harga menggiurkan, terus mengapa petaninya tidak merasakan untung? Pertama-tama, Di Temanggung sendiri, tidak semua lahan bisa ditanami Tembakau Srintil. Keberadaan Srintil sebenarnya sangat langka dan hanya bisa ditanam di lahan-lahan tertentu saja. Kualitas Srintil terbaik berada di daerah Lamuk Legok dan Dampit Losari yang berada di lereng Gunung Sumbing, serta daerah Kwadungan dan Bansari yang berada di lereng Gunung Sindoro.
Yang menjadi tantangan, satu faktor yang membuat tembakau Srintil bisa ditanam di Temanggung adalah cara penanaman dan pemeliharaannya yang masih dilakukan dengan kearifan lokal. Karena itulah tembakau di sana, tak hanya Srintil, tembakau biasa yang mereka tanam juga dipastikan mengandung kadar nikotin yang tinggi.Oleh karena itu wajar, bila Lamuk Legok, bisa menghasilkan tembakau Srintil yang berkualitas dengan harga yang mahal. Pada prinsipnya, daun tembakau yang kelak menjadi
Srintil berasal dari varietas asli Temanggung bernama Kemloko. Penanamannya pun dilakukan dengan teknik bagus yaitu tidak dicampur dengan varietas lain dan tanahnyatidak memiliki terlalu banyak kadar air. Dengan kata lain, kondisi geografis, cuaca dan varietas punya andil besar untuk menghasilkan tembakau terbaik. Dan, untuk mewujudkan keselarasan seluruh faktor tadi, membutuhkan materi, waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Tidak semua petani bisa melakukannya, mengakses teknologinya dan sumber dayanya.