Rabu (1/6/2022) saya, Mohamad Iwan dan Novian ketemuan. Menyeruput kopi. Jelang petang di Kalibata, Jakarta. Ini kali pertama saya bertemu teman lama. Sejak lulus SMAN 30 pada 1985.
"Sur... Kasih Pudjiantoro nggak bisa karena dadakan bokapnya mau datang. Jadi nggak apalah kita ketemu ngopi berdua. Kangen gw," kata Iwan lewat pesan whatsapp.
Awalnya saya dan Kasih janjian ketemu di Cibubur. Iwan berpikir kejauhan. Dari rumahnya di Matraman. Saya ambil jalan tengah: di Kalibata. Novian akhirnya bisa ikut bergabung.
Iwan mengawali obrolan soal kenakalan di sekolah. Masa-masa 'jahiliyah' remaja. Mulai dari bolos bareng hingga lompat pagar hindari upacara. Main sepakbola juga dikupas.
Novian lain lagi. Binyo- begitu dia dipanggil- bicara soal tawuran, minuman dan 'barang haram'. Lalu ngawur ngidul sembarang. Tapi, kami tidak bicara politik negeri ini. Senakal-nakalnya kami, tetap NKRI.
Saya bangga melihat dua sahabat ini. Kenakalan remaja kini tinggal kenangan. Iwan berubah jadi ustad. "Alhamdulillah... ane banyak kegiatan di musolah lingkungan," tutur Iwan.
Binyo penampilannya tak berubah. Selalu necis. Dia bukan sekadar bekerja. Tapi juga punya saham di sebuah perusahaan swasta. "Cuma minoritas," Binyo merendah.
Obrolan kembali ngawur ngidul ke masa lalu. Binyo mengawali dengan modal 30 ribu perak pergi ke Bali. Tentu tidak sendiri. Dia bersama Yadi, saya dan Agus.
Lalu saya bertanya soal Yadi. Iwan bilang di Grup Grast 30 ada. Tapi, jarang komentar.
Yadi setahu saya memang pendiam. Tidak banyak bicara. Dia pria pemberani. Badannya kecil dan kurus. Tapi, nyalinya selangit. Dia 'peta bumi' bagi saya. Tahu seluk beluk jalan.
Numpang mobil (nm) dilakoni. Sehari-hari sewaktu di SMAN 30 Jakarta. Bahkan mengejar kereta hingga ke Bali.
Saya mengulik memori yang mulai berkarat. Â Yadi, Novian, Agus dan saya jadi 'gelandangan' di Pulau Dewata. Kami numpang truk dari Rawasari ke stasiun Bekasi. Menunggu kereta barang menuju Cirebon.