Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Ketika Daun Berguguran di Tanah Basah

23 Mei 2021   16:32 Diperbarui: 31 Mei 2022   09:01 676 7
SUASANA begitu sakral. Di luar angin pagi mendesau. Daun-daun berguguran. Terbaring di tanah basah. Satu per satu berguguran. Semua seperti tak berarti.

Selepas solat Subuh, Tejo sejenak terpaku. Detak jantung terasa lebih cepat dari biasanya. Sesekali dia menarik napas dalam-dalam.

"Tenang...ini hari kebahagiaan kamu. Jangan berpikir yang aneh-aneh," seraya ada yang berbisik di telinga Tejo.

Entah suara siapa. Entah dari mana asalnya. Dia seakan tahu isi pikiran Tejo. Secangkir kopi sedikit memberi ketenangan.

Matahari mulai menampakkan sinar ketika sesak di dada meredah. Suara salam terdengar dari balik pintu. "Berangkat jam berapa," kata Muklis sesepuh lingkungan Tejo tinggal.

"Rombongan sudah siap untuk mengantar pengantin pria," seloroh Argan yang menyiapkan mobilnya untuk Tejo dan keluarga.

Tejo tak berdaya menolak. Ditodong para sahabatnya yang berbaik hati. Dia takut mengecewakan. Walaupun dia harus bertempur melawan hati kecilnya.

Sebenarnya Tejo tak ingin pernikahan keduanya diketahui sahabatnya. Ketua RT pun tidak diberitahu kapan dia akan menikah. Tejo hanya minta surat pengantar sebulan sebelumnya. Dia tak punya rencana mengumumkan ke lingkungan tempat tinggalnya. Cukup keluarga saja. Begitu pikirnya. Sah secara agama dan negara. Sesederhana itu...!

Bukan karena malu usianya yang separuh abad. Pun wanita yang jadi pendampingnya jauh lebih muda. Tidak..! Bukan itu alasan Tejo. Tapi dia masih menyimpannya sangat rapi di lubuk hati. Tidak ada tanda dari sepatah kata yang terucap. Entah kenapa...

"Ayo kita berangkat, santai aja tidak perlu ngebut. Waktunya masih cukup panjang. Jalan juga pasti lancar tidak macet bukan hari kerja. Terlalu cepat sampai sana juga tidak enak," imbuh Tejo.

Tejo sengaja berpakaian biasa. Hanya kaus di badan. Berbeda dengan sahabat yang mengantarnya. Style habis dan wewangian parfum menembus hidung. Baju putih lengan panjang, celana kompak hitam.

Mendung yang sejak semalam menggantung tersibak menyingkir pelan-pelan. Seakan ikut mengantar keberangkatan Tejo menuju gerbang hari kebahagiaan.

Tapi hati Tejo malah kembali bergetar. Padahal ini akan menjadi  hari yang sakral. Hari terindah sepanjang hidup anak manusia. Karena manusia ditakdirkan untuk berpasangan.

Dalam iringan tiga mobil, Tejo tampak belum tenang. Matanya cekung kurang tidur. Bibirnya kering. Berbatang rokok telah dibakarnya sepanjang malam. Tatapannya separuh kosong. Sesekali Tejo membasu wajahnya. Dia seperti menyimpan sesuatu dalam kepalanya.

"Tenang bro jangan tegang. Bawa happy saja," ujar Argan sembari nyetir memecah keheningan perjalanan.

Tejo menoleh ke kanan. Sesekali bicara agak terpatah- patah. Dia mencoba santai tapi raut wajah tak bisa bohong. Kegelisahannya tercermin dengan caranya bersandar di kursi kiri depan.

Keluarga mempelai wanita menyambut di depan pintu. Dua roti buaya dan perlengkapan calon pengantin wanita diturunkan satu per satu dari mobil. Candaan nakal sahabat mencoba menghibur Tejo. Tapi tampak belum juga mencairkan kegelisahan Tejo. Meskipun dia sempat melepas tawa. Tapi terkesan dipaksakan.

Bahkan penghulu meminta Tejo mengulang untuk ucapkan ijab kabul. Padahal dia sudah belajar dan menghapal sehari sebelumnya. "Maklum sudah lama, jadi lupa," celetuk Tanto yang doyan becanda.

Kontan semua orang yang hadir tertawa grrrr...Suasana yang tadinya hening jadi pecah. Tapi tidak dengan Tejo. Kegelisahan terpancar dari wajahnya yang cekung. Dia sesekali membasuh peluh yang menetes. Dia tampak grogi. Sebelum ada kata sah dari penghulu.

Mungkin bisa dimaklumi karena hampir sepuluh tahun Tejo berstatus duda. Istrinya meninggal dunia karena sakit. Tejo diwarisi tiga orang anak dari pernikahan pertamanya. Dia merawat dan membesarkan semua anaknya.

Tejo merasa seperti daun yang berguguran di tanah basah. Dia merasakan getirnya hidup tanpa pendamping. Sekalipun dia tegar tetap masih ada yang kurang. Ada satu sisi yang membuatnya rapuh. Tak berdaya.

Dalam tiga tahun beruntun, Tejo kehilangan tiga wanita yang dicintainya. Mereka serperti daun yang berguguran d tanah basah.

Pertama ibu mertuanya. Setahun kemudian, istrinya. Terakhir ibu kandungnya. Allah lebih sayang kepada tiga wanita yang menghiasi warna kehidupan Tejo. Wanita yang berpengaruh dalam hidupnya.

Tejo sangat dekat dengan Emak, panggilan ibu mertuanya. Emak tempat berlindung Tejo ketika ribut dengan istrinya. Termasuk saat istrinya mendesak Tejo untuk gugurkan kandungan sebelum lahiran anak ketiganya.

"Itu rezeki dari Allah jangan disia-siakan. Mestinya kamu bersyukur masih bisa mengandung. Banyak orang yang berkeluarga belum dikasi hamil, ampe berobat kesana kesini. Jangan kamu paksa Tejo untuk gugurkan kandungan itu, dosa...," Emak mengomeli istri Tejo yang saat itu diam-diam mengandung jalan 2 bulan.

"Iya Mak...tapi saya takut ..kata orang lahiran anak ketiga itu lebih sakit dibanding sebelumnya," jawab Nita, istri Tejo yang menghembuskan napas terakhir 9 tahun silam.

Tejo dan nita akhirnya membatalkan niatnya. Mereka pasrah menerima keadaan. Dokter pun membesarkan hati nita.

"Tidak benar lahiran anak ketiga lebih sakit dari sebelumnya. Justru bisa jadi pengalaman karena sudah pernah melahirkan," kata dokter kandungan saat kontrol ke rumah sakit.

Tangan Tejo habis tercabik-cabik saat Nita melahirkan anak ketiganya. Tejo tak berdaya. Dia mencoba merasakan apa yang dirasakan istrinya. Beruntung istri dan anaknya selamat. Tejo senang bukan kepalang.

Bayi mungil itu sangat lucu dan cantik. Rambutnya tampak ikal seperti Tejo. Tapi banyak yang bilang momongan ketiganya itu duplikat Nita. Nita pun senang meski sempat halu.

Namun kesenangan itu hanya bertahan tiga minggu. Nita berhenti memberikan ASI. Dia divonis dokter mengalami pembengkakan jantung. Nita menginap di rumah sakit selama sebulan.

Selepas pulang, dia pun harus bed rest. Tak bisa berbuat banyak. Rasa nyesak di dadanya sering datang setiap saat. Tapi Nita takut kembali ke rumah sakit. Dia mencoba bertahan demi si bungsu yang lucu. Berbagai pengobatan alternatif dipilihnya. Tejo selalu memenuhi permintaannya kemana pun Nita berobat alternatif.

Sebidang tanah, mobil, dan uang tabungan rela dikuras demi kesembuhan Nita. Tapi tak ada satu pun yang cocok. Tejo hanya bisa pasrah.

"Tolong jaga si bungsu. Dia cantik dan lucu. Dia sangat dekat dengan kamu," tutyr Nita sebelum menghembuskan napas terakhir.

Tejo tak percaya Nita telah tiada. Dia menangis terisak-isak. Air matanya terus membasahi bumi. Sulit melupakan istri yang dicintainya. Dia bahkan seraya menyalahkan takdir. "Tuhan kenapa terlalu cepat Kau renggut kebahagianku," umpat Tejo.

Tejo bertahan sepuluh tahun membesarkan ketiga anaknya. Kini dia telah beristri yang jauh lebih muda. Tapi Tejo belum bisa melupakan pesan Nita. Dia takut daun-daun berguguran di tanah yang basah. Tejo tak mau kehilangan orang-orang yang dicintanya.*

Suryansyah
Warga Depok Paling Pinggir

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun