"Rambu, silakan menginap di rumah saya. Pakailah imah-nya, untuk Rambu. Saya mah gampang, bisa tidur di tepas atau sasoro. Atau saya bisa tidur di rumah Idong"
Kata seorang Baris Kolot kepadaku, saat kami berjalan kaki menapaki ujung awal jalan selepas jembatan bambu, berupa batu-batu jalan setapak yang memanjang yang memisahkan dua kelompok rumah-rumah adat terbuat dari kayu dan bambu tanpa sebatang paku pun yang menancap. Seluruh rumah itu, kecuali rumah Sang Ketua, hanya menghadap ke dua arah mata angin: Utara atau Selatan. Titik pertemuannya adalah jalan setapak berbatu. Perkampungan itu tanpa cahaya listrik. Di sana, di kampung Cibeo.
Sang Baris Kolot itu, Ayah Karnin namanya, berjalan di sisi kiri saya, agak di belakang. Usianya barangkali hanya berselisih 1-2 tahun saja dari saya. Ia lebih tua. Namun kharismanya membuat Ayah Karnin tampak jauh lebih berumur dibanding saya.
Saya tersenyum. Senyum manis yang pekat. Sesungguhnya senyuman itu hanya untuk menutupi kebingungan saya. Bagaimana nggak bingung, berjalan berurut di belakang Ayah Karnin ini ada beberapa sahabat yang juga memberikan tawaran hampir serupa. Menawarkan rumah bambunya untuk saya menginap malam ini. Lima hingga tujuh orang. Semua sahabat itu dulur dekat saya. Mereka pun sama.Â