Setelah membaca novel karya Dee Lestari itu, aku sering berpikir bahwa ada satu fragmen jalan hidupku yang memiliki kemiripannya dengan Jati Wesi dan Tanaya Suma. Mirip. Tidak persis. Aku -merasa- dilahirkan dengan indra penciuman dan hidung yang sensitif. Namun tidak secanggih Jati Wesi yang bisa mengendus aroma mayat di kedalaman sekian meter dibawah tumpukan sampah. Tidak. Tidak. Tidak. Hanya di bagian yang berhubungan dengan air hujan dan bau-bau tertentu. Rokok, misalnya. Tidak sampai aku bisa menguraikan senyawa kimia apa yang terkandung dalam aroma yang kucium.
Hidung mungilku ini hanya sesekali saja - tidak setiap saat - bisa membaui datangnya hujan. Tandanya adalah bangkis-bangkis berkepanjangan dan terus menerus.