Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Sad Rasa & Sapta Rasa

16 Desember 2019   23:38 Diperbarui: 18 Desember 2019   04:37 94 3
Waktu itu aku diajak ke pasar sama Al, kakak sepupuku yang jarak umurnya denganku dua tahun. Dia lebih tua. Kami naik mobil March putih ke pasar tradisional. Dua sepupuku yang lain juga ikut. David nyetir. Cahyo menemaniku duduk di jok belakang.

Pasar tradisional yang kami tuju rupanya melewati warung langganan Al. Ada dua menu favorit di situ: sate sapi maranggi dan ikan pedas kuah kuning. Di warung itu kami berhenti dan memesan dua menu favorit tersebut.

Sate maranggi adalah juga menu favoritku. Dulu, sebelum tol Cipularang ada, aku sering singgah di Cibungur, memesan sate Maranggi plus kelapa muda. Di wilayah Cikampek, kebetulan ada juga sobatku, Teh Widya, yang merekomendasikan sate maranggi dekat rumahnya di perumahan dinas Pupuk Kujang. Sate Marangginya juara, kata teh Widya.

Pun di kantor, jika ada acara jamuan prasmanan untuk pelanggan, sate maranggi seringnya ditambahkan pada daftar hidangan yang tersaji selain pepes ikan jambal, dan serba pepes lain dari Walahar.

Intinya, sate maranggi sapi, adalah salah satu jenis makanan Indonesia yang masuk daftar favoritku. Makanya ketika di warung Haji Junus saat Al dan sepupu-sepupuku pesan sate maranggi untuk lauk makan siang, saya langsung menimpali usulan Al yang 10 tusuk menjadi  20 tusuk.

Pesanan kami tinggal, dan melanjutkan perjalanan ke pasar. Nanti sekembali dari pasar, pas dua pesanan sudah jadi akan kami ambil.

Sebenarnya, aku agak was-was begitu mendengar kata 'pasar tradisional'. Aku punya kisah di masa kecil terkait pasar tradisional yang kurang menyenangkan. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun