Begini yang berhasil kucatat:
Kartini kecil menangis meronta ketika dipisahkan dari Ibu kandungnya, dan harus tinggal di Griya Dalem, bersama Garwa Padmi Ayahandanya dan saudari-saudari tirinya. Betapa sedih ia ketika harus berpisah dari pelukan Ibunda. Betapa lebih sedih ketika harus memanggil Ibundanya tercinta dengan sapaan, "Yu".
Yu adalah sapaan untuk pembantu rumah tangga. Serendah itu kah derajat Ibunda? Hanya karena Ibu tidak memiliki trah keningratan, maka Ibu harus tinggal di Griya Njaba? Dan aku, putri kandung Ibu, yang secara garis Ayah meneruskan darah ningrat, maka memenuhi syarat untuk tinggal di Griya Ndalem? Perasaan Kartini kecil teraduk-aduk sempurna.
Adalah Kartono, kakak kandungnya yang hanya berselisih usia 2 tahun, yang meredakan tangis Kartini kecil. Sedari tadi ia mengamati adik kecilnya yang setelah adegan drama lari menuju ruang gamelan. Kartono seringkali mendapati adik kecilnya itu menyendiri bersama gamelan. Terkadang ia mendengar tembang-tembang macapat tersenandungkan dari bibir mungil saudari kandungnya yang matanya jernih tanda ketajaman berpikir.
"Rene, Ni. Iki Kangmas duwe dolanan."*
Kartono, yang kelak berjuluk Sang Poligot karena menguasai puluhan bahasa di dunia, menghampiri Kartini. Khawatir mengganggu ketermenungan Sang Adik, Kartono menyisakan jarak sekitar dua depa. Kartini menoleh ke arah Sang Kakak. Kartono bisa menangkap lelehan air mata di pipi Kartini. Kartini mengusap air matanya meski isak tangisnya tak kunjung reda. Ia melangkah perlahan menuju Sang Kakak.
Kartono membimbingnya dan mereka berdua duduk bersimpuh di dekat gong seakan sedang bersembunyi dari para abdi dalem yang seringnya diminta mencari tahu keberadaan putra-putri Bupati Jepara.
"Wayang kulit iki jenenge Dewi Srikandi, Ni. Ksatriya Wanodya tanpa tanding."**