Bisakah kita seikhlas Sang Palgunadi itu, merelakan segala ilmu dan kemampuan dan talenta tentang memanah bahkan tanpa melalui 'pendidikan formal' di bawah asuhan langsung Resi Durna melainkan justru membuat patung Sang Resi demi kebisaan memanah yang mumpuni dan pupus begitu saja saat ibu jari terpotong?
Bisakah kita seikhlas Bambang Ekalaya yang setelah ditolak jadi murid Resi Durna justru membuat patung Sang Resi untuk ditatap setiap kali belajar memanah sendiri?